Ratusan Warga 4 Desa di Kecamatan Simanindo Marah karena Tanahnya Dipasang Tapal Batas Tanah Negara secara Tiba-tiba, (3/2) photo greenberita/Riswan |
GREENBERITA.com- Ratusan warga di 4 (empat) desa yang telah menempati wilayah tanahnya sejak turun temurun menyampaikan kekesalan bercampur marah kepada Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Sumatera Utara (Provsu) melalui KPH XIII Dolok Sanggul ketika lahan pertaniannya nya dipasang plang tapal batas dengan alasan sebagai bagian dari Hutan Negara.
Kekesalan dan kemarahan tersebut disampaikan ratusan warga desa Garoga, Unjur, Martoba dan Desa Ambarita melalui perwakilan beberapa warga pada pertemuan di Kantor Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Sumatera Utara pada Senin 3 Februari 2025.
Pada pertemuan tersebut, Gerson Napitu dari Desa Unjur menyatakan keheranannya melihat sikap Dinas Kehutanan
"Bahwa masyarakat Kecamatan Simanindo khususnya 4 desa tersebut telah mempunyai golat masing-masing dari beberapa marga, kalau kita menganut SK 44 dan SK 579 bahkan kantor Camat Simanindo ini juga bagian hutan lindung. Holi holi opung kami ada di sana dan telah bertani di sana dari sejak dulu, kenapa tiba-tiba dipasang plang tapal batas dengan dasar SK 579, apakah ada sesuatu disana? Jangan karena kelompok tani hutan (penderesan getah pinus) yang katanya menambah kesejahteraan rakyat tapi justru menjajah kami," kesal Gerson Napitu.
Warga lainnya dari Desa Garoga, Gajahmada Rumahorbo menyesalkan tindakan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara melalui KPH XIII Dolok Sanggul yang melakukan plang tapal batas.
"Saya yakin ini terjadi karena pelaku Kehutanan (KPH XIII Dolok sanggul), yang memberikan ijin kepada kelompok tani kehutanan Penderes getah pinus supaya semua dikuasai mereka, bahwa kelompok tani kehutanan yang ditemani oleh pejabat kehutanan boru Sinaga mau mendirikan pamflet (tapal batas) di tanah masyarakat, ini terjadi 2 kali diantar oleh pejabat kehutanan, padahal sudah ada batas kehutanan, ada rinkis, mau ambil getah pinus dan kayu di atas sana ambillah suka kalian tapi jangan tanah ladang kami dibatasi pamflet, kalau kelompok tani tetap mau mendirikan pamflet, kami tetap menolak," tegas Gajahmada Rumahorbo.
Hal senada disampaikan Enjon H Simarmata dari warga Desa Marlumba menyatakan Desa dan rakyat Martoba menolak karena langsung ditanaman cengkeh para petani.
"Kepada KPH XIII Dolok Sanggul, kami heran peletakan tapal batas ini kok sengaja diletakkan ditempat yang tidak bisa dijalani warga dan tidak diberitahukan kepada warga, apa maksudnya? Sebagai rakyat kami curiga, penentuan tapal batas ini hanya ketentuan pribadi kehutanan, aneh memang," tanya Enjon Simarmata.
Seorang nenek berusia 80 tahun lebih yaitu Opung Mazmur boru Manik dari Desa Ambarita kecamatan Simanindo, mengapresiasi pernyataan Camat Simanindo Hans Rikardo Sidabutar yang ikut memberi dukungan kepada aspirasi warga.
"Sudah 3 kali diletakkan tapal batas, tapi itu tak ada ijin dari yang punya tanah. Pinus yang diatas itu bukan ditanam kehutanan tapi tumbuh sendiri dibawah rikkis, pertanyaan kami hasil deres pinus itu sekarang siapa yang ambil deres pinus itu dan kemana setoran nya, ke pemerintah kah, Kehutanan kah atau ke masyarakat kah? Terus, siapa yang menampung hasil panen getah pinus itu karena itu tanah Opung ku, kenapa dijadikan tempat penampungan getah pinus disana, kami akan tuntut karena sama kami tidak laporan apapun," pungkas Opung Mazmur boru Manik mengakhiri aspirasi ratusan warga yang hadir.
KPH XIII Dolok Sanggul dan Pemkab Samosir berikan penjelasan kepada warga atas pendirian Tapal Batas di Tanah Rakyat (photo greenberita/riswan) |
Camat Simanindo Hans Rikardo Sidabutar mendukung pernyataan ratusan warga yang hadir ke Kantor Kecamatan Simanindo tersebut.
"Sebetulnya yang pertama, kalo dari saya dengan apa yang sudah saya lakukan juga disini berapa ribu pohon yang sudah saya tanam diatas sana, semua, dipinggir jalan. Yang ketakutan sekarang itu, kondisi di kemiringan ini. Tapi di kemiringan ini, saya pastikan itu Dolok Boratan saat ini di Garoga kalau sempat ada ruang kosong atau akar akar pinus yang mungkin kedepannya berisi komatib disaat kosong berongga dia akan mengakibatkan menampung air yang besar, suatu saat bisa akan tergerus semua secara besar-besaran. Tahun 2024, terjadi banjir bandang di Desa Martoba, korban juga ada," tegas Hans Sidabutar.
Dirinya memastikan kerusakan alam yang mengakibatkan banjir bandang beberapa kali di Simanindo pada tahun 2024 lalu sebagian besar karena operasional pemberesan getah pinus diatasnya yaitu area Hutan Lindung.
"Sudah pasti ada hubungannya dan saat ini juga kerap ketakutan dan saya pernah lari loh satu kampung kami lari ke Siallagan. Tempat terjauh, karena kalau malam dia pada saat itu mati lampu, kalo malam datang hujan hutan (Hutan harangan dalam bahasa Batak) batu itu kayak mau menerobos ke arah kita, suaranya luar biasa menggelegar dan kejadian terakhir juga, seluruh masyarakat disitu lari semua. Kami kerja, saya waktu itu memegang semprot sampai lari lari kami setengah mati," jelas Hans Sidabutar menceritakan kisah keluarga nya.
Dirinya mengaku melihat potongan-potongan kayu yang terpotong oleh alat mesin dan batu besar yang berserakan.
Ketika klaim Camat Simanindo tersebut dikonfirmasi kepada Kepala KPH XIII melalui Kasi Perlindungan Hutan, Toga Sinurat tidak menampik dan berjanji akan mengusut para Kelompok Tani Penderesan Getah Pinus disana.
"Ya, tentunya kami menguatkan pengawasan tentunya. Dari laporan laporan yang disampaikan tadi supaya ada upaya upaya kita untuk mengecek melalui pengecekan ke lokasi, bila itu memang terlihat sangat mengkhawatirkan tentu kita akan mengambil langkah-langkah pidana," tegas Toga Sinurat.
Ketika dikonfirmasi tentang kejengkelan dan kemarahan ratusan warga 4 desa tersebut tentang pemasangan plang tapal batas yang dinilai warga semena-mena, Toga Sinurat menjawab diplomatis.
"Jadi, aspirasi yang disampaikan masyarakat tadi yang mengatakan bahwa sebenarnya lokasi mereka itu adalah lokasi yang mereka kuasai sejak dulu. Namun, sekarang statusnya kawasan hutan, memang tadi kita sudah diskusi tentunya sebenarnya ketika ada penguasaan-penguasaan tanah didalam kawasan hutan, mestinya ini sudah terakomodir diusulkan untuk dilepaskan. Harapan kami nanti data-data yang muncul kemudian tentang penguasaan lahan dalam kawasan hutan dengan pemerintah daerah untuk diajukan perubahan batas kawasannya dan dilepaskan dari kawasan hutan. Nah, terkait dengan pengelolaan hutan tersebut sampai saat ini kan sudah terbit SK atau pemberian izin, pemberian persetujuan pengelolaan hutan yang sampai saat ini secara umum dengan terbitnya SK tersebut tentu sudah melalui prosedur yang sudah sesuai. Akan tetapi, kita tetap mendorong kelompok ini memberdayakan ini terhadap masyarakat terhadap desa," jelas Toga Sinurat.
Pihaknya berjanji akan melakukan evaluasi kepada kelompok tani hutan Penderes Getah Pinus terkait pakah kegiatan kegiatannya telah ada unsur melanggar ketentuan ataupun hal hal lain yang berefek terhadap kerusakan lingkungan.
"Ini akan kita nilai, tentu ini jadi dasar kita apakah memang perbuatan-perbuatan ini mengakibatkan yang bisa kehilangan izinnya tentunya apabila mengarah kepada pidana dan lain sebagainya. Tapi harapan kita sebenarnya lebih kepada masyarakat ini di berdayakan kelompok tani hutan ini juga harus berguna juga di sekitarnya. Supaya sinergitasnya tadi tidak muncul kondisi konflik yang seperti ini," nilai Toga Sinurat.
KPH XIII Dolok Sanggul menyatakan untuk dikawasan Samosir belum pernah memberikan sanksi kepada kelompok tani kehutanan atas dugaan perusakan lingkungan
Sementara itu, Asisten I Pemkab Samosir Tunggul Sinaga menyampaikan harapan Pemkab Samosir kepada institusi yang memiliki kewenangan penuh yaitu KPH XIII Dolok Sanggul.
"Tolong dapat mem follow up, dapat melakukan memberikan jawaban yang memang apa yang diharapkan masyarakat ke 4 desa terhadap aktifitas termasuk tapal batas hutan lindung dan batas-batas milik masyarakat ke 4 desa. Harapan kita ya, itu beberapa masukan dari masyarakat itu bisa di akomodir, bisa menjadi bahan masukan untuk selanjutnya untuk evaluasi oleh pihak KPH XIII Dolok Sanggul," tegas Tunggul Sinaga.
KPH XIII Dolok Sanggul sebagai cabang dari Dinas Provinsi Sumatera Utara dan Kementerian Kehutanan diminta dapat segera turun ke lapangan melakukan kajian, monitoring, evaluasi termasuk kepada aktivitas yang sedang berlangsung oleh kelompok tani hutan tersebut.
"Sehingga apa yang menjadi harapan masyarakat keempat desa itu terpenuhi, tidak ditakuti terbayang bayang termasuk yang disampaikan oleh pak camat akibat aktivitas diatas itu nanti berulang kali kalo sudah musim penghujan akan terjadi banjir bandang yang bisa mengakibatkan korban, korban harta, korban nyawa, korban semua dengan lahan dan seterusnya. Ini harapan kita, mudah-mudahan KPH XIII kita bisa berkoordinasi bersinergi untuk menemukan solusi terbaik," pungkas Tunggu Sinaga.
Hadir pada pertemuan dikantor Camat Simanindo tersebut juga dihadiri oleh Asisten II Pemkab Samosir, Hotraja Sitanggang, Kadis Lingkungan Hidup Edison Pasaribu, Kabag Hukum Pemkab Samosir Jaubat Harianja, Danramil 01 Simanindo Kapten Edi Waryanto dan Kapolsek Simanindo Iptu Ramadhan Siregar. (Gb-Ferndt01)