Dr Pirma Simbolon |
Oleh Dr Pirma Simbolon
Beberapa waktu yang lalu, beredar video sebuah keributan di acara duka, entah dimana lokasi kejadiannya kurang tau persis karena saya juga tidak berupaya untuk mengetahui lebih lanjut, karena saya anggap kejadian itu hanya kasuistik bukan berlaku umum.
Namun karena seorang sahabat bung Effendi Naibaho (jurnalis senior) meminta tanggapan saya, ya saya hargai dengan memberi respon sekedar yang saya pahami meskipun saya sendiri bukan ahli dalam kajian theologis.
Dalam tradisi Tionghoa, saat anggota keluarga meninggal, sering ke dalam peti jenazah dimasukkan barang-barang yang biasa dipakai orang yang meninggal, seperti baju, buku, kacamata, pulpen, tas, sepatu, dan lainnya. Bukan hanya suku Tionghoa yanag memiliki kebiasaan tersebut, suku Batak dan Toraja juga memiliki kebiasaan yang sama.
Menurut saya memasukkan barang-barang ke peti mati dapat dibenarkan sejauh itu merupakan ungkapan kasih (berbuat yang terakhir bagi yang meninggal), dan bukan dimaknai sebagai bekal perjalanan di dunia menuju surga, atau karena takut diganggu oleh arwah yang meninggal.
Dalam ajaran Katolik kehidupan setelah mati adalah kehidupan roh.
“Manusia tidak lagi kawin dan dikawinkan, melainkan hidup seperti malaikat di surga.” (Matius 22:30).
Harta yang dimiliki tidak dibawa serta, tetapi ditinggalkan bagi orang lain (Mazmur 49:11 ; Lukas 12:16-21), namun seingat saya juga tidak dilarang secara khusus.
Mereka yang mati sama sekali tidak berbuat apa-apa, termasuk berdoa dan memuji Tuhan (Yesaya 38: 18).
Mereka yang berada di api penyucian justru mengharapkan doa-doa kita. Bila mereka sudah berbahagia di surga, kita bisa memohon doa mereka.
Pendapat saya soal kejadian yang viral baru baru ini, dimana seorang pendeta marah besar dan bahkan tidak bersedia memimpin agenda pemakaman hanya karena anggota keluarga ingin menyertakan sebuah tas di peti mati dengan alasan pesan almarhum sebelum meninggal.
Mohon maaf, dengan sangat menyesal saya harus mengatakan sikap pendeta tersebut sangat lah kasar dan tidak layak bahkan saya sebut LUAR BIASA buruk, sama sekali tidak menggambarkan seorang gembala.
Andaikan ajaran gereja mereka anut pun melarangnya cukuplah dengan menjelaskan dengan baik landasan teogisnya. Ingat suasana itu adalah suasana duka.
Andaikan pak Pendeta tersebut mencoba menjelaskan, saya yakin pihak keluarga mungkin saja akan dapat menerimanya.
Sangat disayangkan seorang Pendeta dengan mudahnya tersulut emosinya secara luar biasa. Bayangkan seorang pendeta saja seperti itu bagaimana umat? Menurut saya pendeta tersebut layak ditegur oleh pimpinannya.
( _Penulis adalah dosen di beberapa universitas Jakarta_ )