Bupati Samosir, Vandiko Timotius Gultom |
Oleh Pasca Dagama Sagala
GREENBERITA.com- Dalam sebuah perbincangan 'Berjabat Tangan dengan Rakyat,' Najwa Shihab pernah berujar bahwa "Menjadi pejabat berarti melayani rakyat, itulah pemerintahan yang akan mendapat hormat.”
Pernyataan Najwa Shihab tersebut sangat relevan dengan kondisi yang baru-baru ini terjadi dan menghebohkan jagat media di Kabupaten Samosir.
Bagaimana tidak, belum sah saja menjadi pejabat dan melayani rakyat, sudah mendapat kartu merah dari wasit Pemerintahan RI, yakni Kementerian Dalam Negeri.
Alih-alih mendapat tepuk tangan rakyat, yang terjadi malah mendapat hujat dari seluruh rakyat. Cacatnya Administrasi kepegawaian dan tata Kelola pemerintahan di Pemerintah Kabupaten Samosir semakin menambah catatan kelam runtuhnya kepercayaan publik. Pemerintahan yang seharusnya dijalankan dengan prinsip manajemen yang rapi, efektif, efisien dan terukur, justru dilaksanakan dengan cara serampangan dan penuh miskomunikasi.
Belum lama sejak Bupati Samosir, Vandiko Gultom mengambil sumpah dan melantik Sekretaris Daerah (Sekda) beserta para pejabat eselon lainnya melalui Keputusan Bupati Samosir Nomor 89 Tahun 2024, Bupati kembali membatalkan Surat Keputusan tersebut.
Pembatalan Surat Keputusan tersebut disinyalir karena adanya pelanggaran terhadap hukum yang lebih tinggi yakni Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2016.
Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Samosir menyebutkan, bahwa SK Pembatalan sudah ditandatangani Bupati Vandiko Gultom dan Pemkab Samosir saat ini menunggu jadwal pelantikan setelah menyurati Kementerian Dalam Negeri.
Keriuhan pun terjadi dan itu menunjukkan adanya masalah serius dalam manajemen organisasi di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir.
Ketidakmampuan SDM di lingkungan Pemerintah Kabupaten Samosir dalam menginventarisir dasar hukum surat keputusan menyebabkan Bupati Samosir menjadi pelaku pelanggaran hukum administrasi.
Pelanggaran hukum administrasi dalam menjalankan roda pemerintahan seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang Kepala Daerah.
Kebijakan Kepala Daerah yang bertentangan dengan dasar hukum penyelenggaraan pemerintah sesungguhnya telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) sebagaimana didalilkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Secara normatif, kualitas penyelanggaran pemerintahan seharusnya dilaksanakan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian demi terciptanya kepastian hukum dalam penggunaan kewenangan.
Prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan pemerintahan dimulai dari adanya komunikasi yang baik dan terarah dari seorang pimpinan pemerintahan kepada seluruh lembaga yang berada dibawahnya, agar setiap langkah gerak pemerintahan dilaksanakan dengan memperhatikan dasar hukum bertindak, serta mengetahui setiap konsekuensi yang akan datang.
Bupati Samosir sebagai pucuk pimpinan tertinggi dalam roda pemerintahan ditingkat Kabupaten nyatanya telah gagal dalam mengorkestrasi tata kelola pemerintahan yang baik pada pemerintahan Kabupaten Samosir.
OPD dan pejabat terkait seharusnya ditindak secara tegas oleh Bupati Samosir agar cermat memberikan masukan kepada pimpinan.
Oleh karena itu, Bupati seharusnya mengambil langkah serius dalam mengelola manajemen organisasi pemerintahan.
Perubahan personalia di lingkungan Pemerintah Kabupaten Samosir adalah langkah yang seyogyanya ditempuh oleh Bupati Samosir, utamanya yang berkaitan dengan bidang aparatur dan regulasi. Perubahan struktur juga harus dibersamai dengan adanya perubahan budaya komunikasi yang dibangun oleh Bupati Samosir.
Refleksi ini menuntun kita agar sisi buram manajemen pemerintahan Kabupaten Samosir harus dijalankan dengan semangat perubahan.
Gaung perubahan harus terus di semarakkan agar perjalanan pemerintahan Kabupaten Samosir menemukan titik terang kemajuan.
(Penulis adalah Seorang Mahasiswa Pasca Sarjana UGM)