GREENBERITA.com- Hikmahanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum UI menjelaskan bahwa pengambil kebijakan dapat dipidana bila dalam proses pengambilan kebijakan terdapat perilaku koruptif. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum UI
Dalam sidang perdana mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, disebut sejumlah nama anggota Dewan Gubernur BI saat memberi fasilitas pendanaan jangka pendek Bank Century. Ada nama Boediono yang saat ini menjabat wakil presiden. Sementara dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik muncul nama Muliaman D Hadad yang saat ini menjabat Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menjadi pertanyaan apakah pengambil kebijakan untuk menyelamatkan Bank Century dapat dipidana karena penyelamatan tersebut menggunakan uang asal negara (keuangan negara)? Apakah pengambil kebijakan harus mempertanggungjawabkan keputusannya bila di persidangan ternyata permasalahan yang membelit Bank Century tidak berdampak sistemik pada bank-bank di Indonesia?
Inti kebijakan ialah keputusan. Dalam tulisan ini istilah kebijakan akan disamakan dengan keputusan meski secara teoretis keduanya bisa dibedakan. Keputusan diambil karena ada sejumlah pilihan.
Dalam pilihan tersebut, termasuk pula tidak mengambil keputusan. Pengambilan keputusan tidak hanya ada di ranah publik.
Dalam ranah swasta pun keputusan juga dikenal. Dalam mengambil keputusan atau kebijakan ada dasar hukum dan norma-norma yang harus diperhatikan.
Dalam ranah publik pengambil kebijakan wajib memperhatikan dasar kewenangan pengambil kebijakan.
Pengambil kebijakan pun terikat oleh koridor peraturan perundang-undangan dan etika.
Kebijakan atau keputusan setelah diambil dapat dievaluasi. Kebijakan bisa dianggap benar jika membuahkan hal yang positif.
Sebaliknya kebijakan dianggap salah jika membuahkan hasil yang tidak diharapkan dan cenderung merugikan. Bagi pengambil kebijakan yang tepat akan mendapat penghargaan dan promosi.
Tidak demikian tentunya bila pengambil kebijakan dianggap telah salah mengambil kebijakan.
Satu hal yang pasti, para pengambil kebijakan bukanlah peramal yang dapat menerawang ke depan. Kebijakan benar atau salah hanya dapat diketahui pascapengambilan kebijakan (post factum).
Kebijakan salah tidak sepatutnya diberi sanksi pidana. Bila ini yang terjadi, para pengambil kebijakan tidak akan ada yang berani mengambil keputusan kecuali kebijakan yang diambil benar-benar dapat dipastikan tidak salah.
Memang ada pengecualian sebuah kebijakan dapat diberikan sanksi pidana kepada para pengambilnya. Pertama, kebijakan pejabat yang bernuansa kejahatan internasional, seperti kejahatan kemanusiaan dan genosida.
Kedua, pengambilan kebijakan yang secara tegas dianggap sebagai suatu kejahatan dalam undang-undang (UU). Sebagai contoh dalam Pasal 165 UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) disebutkan seorang yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin dapat dipidana bila izin yang dikeluarkan bertentangan dengan UU Minerba.
Ketiga, pengambil kebijakan dapat dipidana bila dalam proses pengambilan kebijakan terdapat perilaku koruptif. Hal yang terakhir ini yang patut dicermati oleh aparat penegak hukum.
Pengambil kebijakan tentu tidak boleh kebal dari sanksi pidana bila dalam proses pengambilan kebijakan terdapat perilaku koruptif. Perilaku koruptif yang dimaksud di sini ialah perilaku yang dapat memberi keuntungan bagi pribadinya sendiri, orang lain, atau korporasi dari pengambilan kebijakan.
Dalam melakukan proses hukum pidana terhadap seseorang yang menduduki jabatan tertentu yang terindikasi melakukan perbuatan koruptif, aparat penegak hukum harus membuktikan niat jahat dan perbuatan jahat dari orang tersebut.
Bila memang ada niat dan perbuatan jahat, hukum dan sanksi pidana harus ditegakkan. Akan tetapi, bila kebijakan yang diambil ternyata salah, bahkan bila dapat dibuktikan telah merugikan keuangan negara tapi tidak ada perilaku koruptif, tidak sepatutnya diproses dan dihukum secara pidana.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum dalam menegakkan UU Tipikor tidak seharusnya berfokus pada ada tidaknya kerugian negara. Adapun yang menjadi fokus ialah perilaku koruptif dari seseorang yang memiliki kewenangan. Mengapa?
Pertama, bila fokus ada pada kerugian negara, para pejabat di perusahaan swasta akan terbebas dari dakwaan UU Tipikor. Padahal perilaku koruptif bisa terjadi juga di sektor swasta. Kedua, kerugian negara bisa terjadi tidak semata karena perilaku koruptif. Kerugian negara bisa timbul karena masalah perdata, seperti wanprestasi, atau kebijakan administrasi negara.
Apakah suatu kebijakan yang diambil secara kolektif kolegial, dengan salah satu pejabatnya terindikasi melakukan perilaku koruptif, dapat ditimpakan pertanggungjawaban pidananya kepada pejabat lainnya? Dalam ilmu hukum, pertanggungjawaban tergantung dalam ranah hukum apa perbuatan dilakukan.
Dalam hukum perdata dikenal tanggungjawab renteng atau kolektif kolegial bila keputusan diambil dalam suatu unit yang terdiri dari sejumlah orang. Para anggota direksi bertanggungjawab secara tanggung renteng atas keputusan yang diambil. Sedangkan hukum pidana tidak mengenal tanggung jawab kolektif kolegial karena kejahatan dibebankan pada individu yang melakukan kejahatan.
Memang dalam hukum pidana ada ketentuan tentang pihak lain yang turut dalam suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Ini yang disebut sebagai ‘pernyertaan’.
Konsep penyertaan ini yang mungkin dipersepsikan sebagai tindakan kolektif kolegial. Sebuah persepsi yang salah secara mendasar.
Dalam konsep penyertaan, pihak-pihak yang turut serta dalam suatu tindak pidana harus dicari pertanggungjawaban masing-masing yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut.
Pada akhirnya semua berpulang pada proses hukum yang didasarkan pada bukti, bila orang yang menduduki jabatan hendak dipidana, bukan sekadar asumsi.
(GB-RizalDM)
Sumber : law.ui.ac.id, Hikmahanto Juwana