MEDAN. GREENBERITA.com – Majelis Hakim yang diketuai Immanuel Tarigan kesal bukan main melihat sikap Elviera selaku oknum notaris terdakwa perkara dugaan korupsi kredit macet senilai Rp39,5 miliar saat di persidangan yang digelar di Ruang Cakra 8 Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (21/9/2022) sore.
Bagaimana tidak, Elviera ketahuan bermain handphone saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) Isnayanda sedang bertanya kepada salah satu saksi bernama Suryanto selaku mantan staf Elviera.
"Tunggu sebentar penuntut umum, terdakwa sudah saya peringatkan agar jangan bermain HP di persidangan," tegur hakim Immanuel. Mendapat teguran itu, Elviera langsung meletakkan handphone-nya ke atas meja penasehat hukum.
Elviera beralasan, bahwa dia menggunakan handphone untuk mencatat keterangan saksi. "Kalau mau mencatat, minta kertas sama penasehat hukum terdakwa. Jangan dijadikan alasan," ucap Immanuel lagi.
Yang membuat majelis hakim tambah kesal, bukan hanya sekali Elviera terkesan tidak menghormati persidangan. Sebelumnya, majelis hakim juga pernah menegur Elviera karena memakai celana jeans saat mengikuti persidangan.
"Tolong di briefring terdakwa ini penasehat hukum. Geserkan HP-nya penasehat hukum," cetus hakim. Ketika menegur Elviera, Immanuel juga membawa-bawa wartawan.
"Ini ada wartawan, jika saya tidak menegur terdakwa, saya yang salah. Memang wartawan yang mengikuti sidang ini cuma 5 orang, tapi beritanya nanti bisa sampai ratusan," pungkas Immanuel.
Belum reda rasa kesalnya, Immanuel mengancam Elviera. "Atau terdakwa mau saya kembalikan ke Rutan?," ancamnya. "Iya pak," jawab Elviera.
"Oh mau saya tahan kembali?," tanya hakim secara tegas. "Enggak Yang Mulia," jawab Elviera seraya menganggukkan kepala.
Hakim juga menyinggung soal Elviera yang mengaku sakit dan nangis-nangis meminta penangguhan penahanan. "Waktu penangguhan ngaku sakit, nangis-nangis. Saat tidak ditahan, sikap terdakwa seperti ini," kesal Immanuel.
Pada persidangan tersebut, selain Suryanto, dua saksi lain yakni Murni Ningsih selaku istri Canakya Suman (terdakwa dalam berkas terpisah) dan Wina selaku mantan staf Elviera juga memberikan kesaksiannya.
Dalam dakwaan JPU Resky Pradhana Romli, terdakwa Elviera selaku notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bekerjasama dengan pihak bank dinilai telah memberi bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan dan kondisi sebenarnya kepada pimpinan maupun staf serta karyawan bank.
Di antaranya kepada Ferry Sonefille selaku Pimpinan Cabang (Pinca)/Branch Manager (BM), Wakil Pinca (Deputy Branch Manager/DBM), R Dewo Pratolo Adji selaku Pejabat Kredit Komersial (Head Commercial Lending Unit).
Serta Aditya Nugroho selaku Analis Kredit Komersial (masing-masing berkas penuntutan terpisah) dalam melakukan pemberian kredit kepada PT Krisna Agung Yudha Abadi (KAYA) yang Direkturnya saat itu, Canakya Sunan bertentangan dengan Surat Edaran Direksi tertanggal 24 Mei 2011.
"Terdakwa membuat Akta Perjanjian Kredit Nomor 158 tanggal 27 Februari 2014 antara pihak bank Kantor Cabang Medan selaku kreditur dengan PT KAYA selaku debitur, yang mencantumkan 93 agunan berupa Surat Hak Guna Bangunan (SHG) atas nama PT Agung Cemara Realty (PT ACR)," ujar JPU.
Belakangan diketahui, sebanyak 79 SHGB di antaranya masih terikat hak tanggungan di Bank Sumut Cabang Tembung dan belum ada pelunasan.
Warga Komplek Dispenda Jalan Pendapatan IV, Desa Marindal I, Kecamatan Patumbak Kabupaten Deliserdang itu juga membuat Surat Keterangan/covernote Nomor: 74/EA/Not/DS/II/2014 tanggal 27 Februari 2014 yang menerangkan seolah-olah dia sudah menerima seluruh persyaratan untuk balik nama 93 SHGB sehingga dapat dibaliknamakan.
Yakni dari PT ACR ke PT KAYA yang mengakibatkan pencairan Kredit Modal Kerja Konstruksi Kredit Yasa Griya (KMK KYG) dari bank kepada PT KAYA.
Elviera dijerat dengan melakukan atau turut serta secara melawan hukum bertujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya yaitu PT KAYA yang Direkturnya adalah Canakya Suman sebesar Rp39,5 miliar sekaligus sebagai nilai kerugian keuangan negara.
"Terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana," tandas Resky.
(Gb--Raf)