MEDAN. GREENBERITA.com -- Buntut dari putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) terkait Peradi versi Otto Hasibuan terus bergulir. Selain peristiwa seorang advokat dari Peradi Otto batal bersidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan gegara keberatan salah satu pihak, kemarin, di Medan seorang Advokat menggugat DPN Peradi Otto Hasibuan terkait keabsahan sertifikat Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang telah terbit.
Dwi Ngai Sinaga dan Benri Pakpahan bersama kliennya, Ranto R Simbolon, salah seorang sarjana hukum yang telah mengikuti PKPA di Peradi Otto Hasibuan menggugat ke PN Medan, Kamis (21/4/2022) karena merasa jadi korban atas putusan kasasi tersebut.
"Kita mengguggat DPN Peradi yang ada di Grand Slipi dan dewan pimpinan yang ada di Serokan, Jakarta. Karena klien mempertanyakan adanya putusan kasasi MA itu. Klien kami ini sudah ikut PKPA dan sudah mau ujian. Tapi dengan adanya putusan ini, membuat klien kami terpukul makanya kami ajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke PN Medan," ucap Dwi Ngai, kuasa hukum Ranto Simbolon seusai mendaftarkan gugatan itu ke PN Medan.
Menurut Dwi Ngai, kliennya merasa dirugikan dengan adanya putusan kasasi itu. Ia merinci total kerugian kliennya akibat dari putusan kasasi itu yang mana menurutnya, sertifikat PKPA milik kliennya yang diterbitkan pada 10 Desember 2022 ditandatangani Otto Hasibuan selaku Ketua Umum pada akhirnya diragukan keabsahaannya.
"Total kerugian yang kami tuangkan didalam gugatan itu berkisar Rp 1 miliar lebih dengan rincian puluhan juta itu biaya materialnya, pendaftaran, baik itu selama ia mengikuti pendidikan, dan dampak yang dialaminya selama ini. Hal itu karena ekspektasinya menjadi Lawyer luar biasa, tetapi ambisi seseorang jadi ketua umum tanpa memikirkan nasib lawyer atau kawan-kawan yang ada di daerah," imbuhnya.
Dwi juga mengomentari soal banyaknya narasi-nasari yang dibangun seolah-olah tidak ada kaitan putusan kasasi MA dengan kepengurusan DPN Peradi Otto Hasibuan saat ini.
"Banyak rekan-rekan harus tahu dan lebih pintar, karena di lapangan saat ini banyak narasi-narasi yang dibangun ada kesalahan suatu organisasi, kita disini berdiri terhadap keputusan pengadilan. Saya minta, kita selaku advokat juga penegak hukum cerdas, bahwa mana putusan yang sebenarnya yang sudah memiliki kekuatan hukum," lanjutnya.
Ia juga menjelaskan bahwa banyak para advokat di daerah yang belum mengetahui putusan kasasi MA itu. Dan dia pun kembali menegaskan bahwa permasalahan itu bukan hanya perselisihan antara Hotman Paris Hutapea dengan Otto Hasibuan tetapi ada putusan yang sudah inkrah menyatakan bahwa dasar dan anggaran rumah tangga peradi versi otto tidak sah.
"Tidak ada hubungan antara perselisihan Hotman Paris dengan Otto Hasibuan, terbukanya tabir ini dari perselisihan mereka, Mungkin banyak kawan-kawan di daerah yang tidak mengetahui ini," tegasnya.
"Apabila dasarnya saja tidak sah, gimana dengan yang lain pondasi tidak sah. Banyak permasalahan permasalahan terkait ini seperti semalam di Jakarta Selatan hari ini ada di pakam, jadi jangan sampai penegak hukum ini nanti yang berantakan," lanjutnya lagi.
Sementara itu kliennya Ranto menambahkan, bahwa gugatan ini dilakukan sebagai bentuk kekecewaannya terhadap setifikat PKPA tersebut.
"Saya sendiri merasa kecewa, malu, dan sedih akibat munculnya perselisihan ini, yang membuat saya mempertanyakan keabsahan sertifikat PKPA yang dikeluarkan Peradi Otto Hasibuan. Saya merasa langkah saya untuk menjadi advokat menjadi terhambat," pungkasnya.
Seperti diketahui, putusan kasasi Mahkamah Agung bernomor 997 K/PDT/2022 pada 18 April 2022, MA menolak permohonan kasasi yang diajukan Peradi Otto Hasibuan atas putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. "Tolak kasasi," tulis MA dalam laman kepaniteraan.
Putusan ini dibacakan Majelis Hakim Kasasi yang diketuai Nurul Elmiyah dengan anggota Maria Anna Samiyati dan Pri Pambudi Teguh. Dengan putusan PN Lubuk Pakam, majelis hakim menyatakan SK DPN Peradi No.KEP.104/PERADI/DPN/IX/2019 tertanggal 4 September 2019 tidak memiliki kekuatan hukum tetap.
Hakim menilai, SK DPN Peradi versi Otto itu dibentuk berdasarkan rapat pleno dan sudah melewati jangka waktu 6 bulan sebagaimana diamanatkan hasil Munas II Peradi di Kampar, Riau. Majelis menilai hal tersebut adalah perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.
(GB--RAF)