Oleh Delima Silalahi
SAMOSIRGREEN.com - Masyarakat Adat Batak Toba menyatakan pesan nya kepada Negara pada Peringatan Hari HAM Internasional yang ke- 73
Hari ini adalah hari HAM internasional yang ke 73 tahun dan kedatangan Wakil Presiden RI, Bapak Ma ‘ruf Amin berkunjung ke Danau Toba untuk meresmikan Indonesian Spices Busines Forum dan Expo World 2021, Pameran Rempah Nasional, yang dilaksanakan di Hotel Niagara Parapat, akan kah menimbulkan sebuah asa baru bagi masyarakat Danau Toba.
Menariknya, acara yang diinisiasi oleh Dewan Rempah Indonesia ini adalah untuk mengembalikan kejayaan rempah nusantara di masa lalu. Sebuah acara yang patut diapresiasi, karena kita memiliki kegelisahan yang sama, gelisah akan punahnya berbagai varietas rempah nusantara.
Bukankah dulu penjajah berbondong-bondong ke Indonesia karena kekayaan rempah-rempahnya?
Mengingatkan kita pada Buku “Pulau Run: Magnet Rempah-Rempah Nusantara yang ditukar dengan Manhattan”.
Berkisah tentang sebuah pulau penghasil Pala di Maluku Tengah yang diperebutkan oleh Tentara Inggris dan VOC. Di mana Tentara Inggris akhirnya menyerahkan Pulau RUN ke VOC ditukar dengan Pulau Manhattan di Amerika Serikat.
Sudah tepat, kita menoleh ke belakang, di mana titik kejayaan bangsa ini, sehingga kita bisa melangkah lebih baik merebut kembali kejayaan tersebut.
Apresiasi inilah yang membuat masyarakat adat di Tano Batak tidak melakukan aksi protes terkait kehadiran Pak Wakil Presiden, padahal sebelumnya jauh – jauh hari sudah dipersiapkan untuk melakukan Aksi Masyarakat Adat di Danau Toba sekaligus refleksi Peringatan Hari HAM ke 73.
Aksi massa yang direncanakan tersebut diundur dengan harapan pameran rempah nasional ini menjadi momentum adanya pengakuan negara terhadap masyarakat adat yang selama ini melestarikan rempah nasional.
Masyarakat Adat lebih memilih menyampaikan pesan lewat tulisan ini, meminta negara benar-benar serius mengembalikan kejayaan rempah nusantara sekaligus mengakui masyarakat adat sebagai garda terdepan pelestari rempah-rempah tersebut.
Siapa sebenarnya pelestari rempah nusantara tersebut? Di mana mereka sekarang? Apa yang mereka alami sehingga rempah nusantara mulai punah? Bagaimana negara punya andil yang cukup besar menghancurkan rempah nusantara tersebut? Menjadi pertanyaan yang harus direnungkan oleh Pak Presiden dan Wakil Presiden juga panitia Pameran Rempah Nusantara tersebut. Supaya acara ini bukan sekedar seremonial dan program pencitraan di mata pasar internasional.
Masyarakat Adat Penyelamat Rempah Nusantara
Acara ini dilakukan di Kawasan Danau Toba, di mana ada Haminjon atau kemenyan yang menjadi salah satu rempah yang pernah memberikan kejayaan kepada Tano Batak.
Bahkan kemenyan terbaik, katanya berasal dari Tano Batak. Ada ribuan bahkan mungkin jutaan generasi Batak pada masa lalu yang berhasil pendidikan dan karirnya di dalam dan di luar negeri karena hasil kemenyan.
Acara ini harusnya menggandeng masyarakat adat di Tano Batak, supaya niat tulus mengembalikan kejayaan rempah nusantara berada di jalan yang benar.
Tidak hanya melibatkan pelaku pasar. Karena apa yang akan dipasarkan jika penghasil rempah tersebut hanya dianggap sebelah mata.
Tiga dekade, masyarakat adat di Tano Batak, berjuang berdarah-darah, mempertahankan hutan kemenyan yang menjadi sumber utama kehidupan mereka.
“Haminjon do ngolu nami”, atau Kemenyan adalah hidup kami, prinsip hidup yang dipegang teguh masyarakat adat di Tano Batak.
Dengan prinsip hidup itulah mereka melawan kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL) hingga saat ini.
Masyarakat adatlah yang melestarikan kemenyan, sedangkan negara yang harusnya menghormati, mengakui, dan melindungi masyarakat adat, ternyata abai dan membiarkan hutan-hutan kemenyan mereka dirampas dan diganti menjadi tanaman Eucalyptus yang merusak lingkungan karena bukan tanaman endemik di Danau Toba.
Kebijakan pembangunan yang memberikan prioritas utama kepada investasi dalam hal ini PT TPL tidak hanya menghancurkan Tano Batak tapi juga merampas Hak Asasi jutaan keluarga masyarakat adat, jutan keluarga petani kemenyan di Tano Batak.
Perjuangan Masyarakat Adat adalah Perjuangan Hak Asasi Manusia
Konstitusi negara ini mengakui keberadaan masyarakat adat. Perjuangan Masyarakat adat adalah perjuangan Kewarganegaraan (citizen rights) yang wajib dipenuhi negara tanpa syarat.
Pengakuan dan penegakkan hak asasi manusia (HAM) adalah kondisi yang tak terelakkan bagi kehidupan yang lebih bermartabat dan lebih baik di Indonesia—dan sesungguhnya di belahan dunia manapun.
Ketika negara abai terhadap isu Hak Asasi Manusia (HAM), yang lahir adalah kekuasaan yang sewenang-wenang, kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan dan konflik sosial yang tidak berkesudahan. Sejarah bangs aini menunjukkan demikian.
HAM adalah sebuah keniscayaan. Pertama, tanpa HAM demokrasi hanya akan menjadi proses pembuatan keputusan bersama yang melibatkan semua orang tapi sebatas formalitas saja. Kedua, tanpa HAM pembangunan ekonomi hanya akan menjadi hiruk pikuk kemajuan dan modernitas yang hanya menguntungkan segelintir elit dan kelas dominan saja. Ketiga, tanpa HAM kehidupan bersama akan ditandai hal-hal tidak menyenangkan seperti prejudis, intoleransi, diskriminasi, sinisme, dll.
Ketiga hal itulah yang saat ini dialami oleh masyarakat adat di nusantara termasuk di Tano Batak. Sehingga mereka berjuang melawan penindasan negara. Mereka sadar, bahwa penegakan HAM tidak jatuh dari langit tapi harus diperjuangkan. Berjuang agar negara mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak mereka di wilayah adatnya.
Pertama, masyarakat adat telah berjuang melakukan perombakan institusional dengan mendesak pemerintah segera menerbitkan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
Seperangkat aturan dan regulasi yang dengan tegas mengakui, menghormati, memenuhi dan melindungi hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat adat.
Kedua, Masyarakat Adat juga tidak kenal lelah berjuang “mengetok” institusi negara agar berbunyi, dan benar-benar memproduksi sistem yang mengindahkan dan bersandar pada prinsip-prinsip HAM.
Jika tidak, aturan main dan sistem kelembagaan yang dengan tegas menghormati dan menegakkan HAM sekalipun dengan mudah bisa dimanipulasi penguasa, kelompok-kelompok yang kuat dan dominan dan para elit pada umumnya.
Sebagai contoh, sudah menjadi hal yang umum dilihat di Indonesia, betapa hukum selalu sulit ditegakkan ketika berurusan dengan “para pemain kelas kakap”. Sebaliknya hukum tampak begitu berwibawa ketika harus menangkap dan mengadili “orang kecil”. Itu yang dialami oleh masyarakat adat di Tano Batak, kriminalisasi dilakukan oleh PT TPL dengan dukungan negara.
Masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanah adatnya dengan mudah dikriminalisasi, sementara ketika masyarakat adat yang melaporkan pengrusakan lahan dan Tindakan kriminal yang dilakukan karyawan PT TPL, pihak kepolisian tidak meresponnya.
Setidaknya itu yang pernah terjadi di Pandumaan-Sipituhuta, Sihaporas, Natumingka, Aek Raja dan wilayah lainnya.
Sekali lagi, masyarakat adat yang selama ini merasa tertindas dan terpinggirkan sangat menyadari bahwa HAM harus diperjuangkan. Sudah sepatutnya, masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan perlu lantang menyuarakan tuntutannya; perlu selalu bisa mengorganisir dirinya dari waktu ke waktu agar tidak mudah dilemahkan oleh kelompok-kelompok dominan; dan perlu menampilkan dirinya sebagai sebuah gerakan yang bisa menerjemahkan kepedulian pada perlindungan atas HAM nya menjadi tuntutan-tuntutan yang nyata.
Perjuangan Masyarakat Adat di Tano Batak Ibarat Mendaki Gunung Terjal
Saat ini ada 32 komunitas masyarakat adat yang menuntut agar negara mengeluarkan konsesi TPL dari wilayah adat mereka dan mengembalikan kepada masyarakat adat. Perjuangan panjang yang membutuhkan banyak pengorbanan.
Dari 32 komunitas tersebut, akhirnya, pada Bulan Oktober 2021 lalu, 20 komunitas masyarakat adat diverifikasi oleh tim yang dibentuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Komunitas lainnya, yang ada di Kabupaten Samosir, Humbang Hasundutan dan Simalungun belum bisa diverifikasi karena pemerintah di Tiga Kabupaten tersebut belum menerbitkan Perda Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat.
Tidak (belum) terbitnya perda di tiga kabupaten tersebut juga menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah daerah tersebut terhadap masyarakat adat.
Verifikasi yang merupakan bagian dari proses penyelesaian konflik masyarakat adat versus negara tersebut disambut riang oleh komunitas. Sayangnya, rangkaian proses tersebut semakin menguatkan tesis awal saya, bahwa keberpihakan negara terhadap masyarakat adat hanyalah keberpihakan semu yang penuh ironi.
Verifikasi yang berangkat dari prasangka bahwa masyarakat adat yang berjuang adalah sebuah hasil “konstruksi”, yang lahir dari sebuah provokasi “pihak luar”, dan keberadaannya “diragukan”.
Tulisan ini tidak akan membahas panjang proses verifikasi tersebut, namun cukup memberikan gambaran bahwa proses verifikasi ini dilakukan negara sebenarnya sedang ingin membuktikan bahwa masyarakat adat itu memang sudah tidak ada, tanpa mencoba melihat dinamika historisnya.
Proses verifikasi itu menunjukkan dengan jelas keberpihakan negara terhadap PT Toba Pulp Lestari.
Ironi Keberpihakan terhadap Masyarakat Adat
Periode Pertama Pemerintahan Presiden Joko Widodo, menjadi harapan baru bagi masyarakat adat di Nusantara. Hampir semua masyarakat adat di nusantara mendukung Presiden Jokowi pada masa itu. Masih ingat, komunitas-komunitas masyarakat adat di Tano Batak menyisihkan uang dari keterbatasan yang mereka miliki untuk mendukung Pak Jokowi. Karena melihat dalam sosok Presiden Jokowi lah hak-hak mereka yang diabaikan negara selama ini akan dipulihkan.
Keseriusan pemerintah kala itu mulai kelihatan, isu masyarakat adat pun menjadi salah satu poin dalam visi misi Presiden. Gesture politik Presiden juga menurun ke daerah.
Tiba-tiba isu keberpihakan masyarakat adat menjadi jargon-jargon publik.
Pemerintah, birokrat, politisi atau bahkan perusahan setidaknya perlu menunjukkan di depan publik bahwa mereka pro hak-hak masyarakat adat.
Sayangnya, keberpihakan sering berbau kepentingan politik jangka pendek, politisi mengangkat isu masyarakat adat untuk meningkatkan popularitas saja dan untuk meraup suara. Masih ingat di satu kabupaten, seorang kepala daerah berjanji pada saat debat kandidat jelang pilkada akan turut berjuang membela masyarakat adat dengan menerbitkan Perda. Bahkan dia bersedia berjanji dengan cap jempol darah. Namun, justru di daerah beliau belum ada perda Payung Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
Ironi lainnya adalah keberpihakan dilakukan dengan mendefinisikan secara sepihak apakah masyarakat adat ada atau tidak.
Sungguh naif, para pejabat di daerah mengatakan bahwa verifikasi masyarakat adat memang adalah proses untuk menguji keberadaan masyarakat adat di satu wilayah. Sehingga yang mereka lakukan adalah sekedar melakukan check list terhadap lima unsur yang diatur dalam Permendagri 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Sehingga jika salah satu tidak ada maka maka keberadaan mereka sebagai masyarakat adat diragukan. Dengan mengabaikan dinamika yang dialami masyarakat adat sampai saat ini.
Masyarakat adat harus tunduk pada imajinasi orang lain terhadap masyarakat adat itu sendiri dengan tafsir undang-undang yang belum tentu benar. Sehingga ketika tidak sesuai dengan imajinasi “pihak luar” tersebut, keberadaan mereka diragukan. Imajinasi yang menganggap bahwa masyarakat adat di semua nusantara sama, tidak mengalami dinamika, orisinal dan solid.
Sehingga ketika komunitas hidup yang hidup di tengah modernisasi, mengenal agama dan teknologi modern maka “kemasyarakatan – adatnya” diragukan.
Setidaknya dalam proses verifikasi yang lalu, anggota tim sering menanyakan “Apakah kalian sudah beragama?”
Pertanyaannya, apakah tim yang katanya para pakar tersebut tidak menyadari mengapa agama-agama lokal juga punah? Apakah negara tidak turut berperan menghancurkan agama-agama tradisional tersebut?
Selanjutnya, apakah ketika masyarakat adat akhirnya menganut agama yang diakui negara ini, keberadaan mereka sebagai masyarakat adat menjadi hilang?
Ibarat sedang menghadapi ujian akhir, begitulah masyarakat adat mendefinisikan proses verifikasi yang baru saja berlalu. Proses yang justru membuat masyarakat adat semakin ragu terhadap keberpihakan negara yang selama ini menjadi jargon-jargon pada setiap kali proses demokrasi dilakukan.
(Penulis adalah Direktur KSPPM dan aktivis lingkungan Danau Toba)