GREENBERITA.com - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Dr. H. Edi Warman, SH, M.Hum menegaskan bahwa jika dalam pembuatan akta ada keterangan yang dipalsukan dapat dihukum pidana.
Hal itu ditegaskannya dalam sidang lanjutan perkara dugaan akta palsu dengan terdakwa David Putra Negoro alias Lim Kwek Liong, yang digelar di Ruang Cakra 6, Pengadilan Negeri Medan, dengan agenda keterangan saksi ahli pidana, Selasa, 30 November 2021.
Selain itu, Prof Edi Warman juga menguraikan dalam unsur pidana seseorang dapat dipidanakan kalau ada unsur delik, adanya perbuatan melawan hukum, dan adanya pihak yang dirugikan.
"Di dalam hukum pidana, yang menimbulkan kerugian itu sudah dapat dihukum. Merugikan orang lain itu, sudah bisa dihukum pidana, kalau tidak rugi, gak bisa dipidana. Soal kerugian itu teknisnya," katanya di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Dominggus Silaban.
Prof Ediwarman juga menegaskan bahwa, dalam pembuatan akta palsu baik orang yang menyuruh dan orang yang membuat dapat dihukum pidana.
Di luar persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Chandra Naibaho mengatakan, bahwa keterangan saksi ahli pidana Prof Edi Warman yang merujuk Pasal 1872 KUHPerdata tentang pembuatan akta dalam perkara tersebut sesuai dengan keterangan saksi Ahli Kenotariatan, Prof Henri Sinaga pada persidangan sebelumnya.
"Jadi pointnya, seperti kata ahli dalam Pasal 1872 KUHPerdata apabila suatu akta ada kepalsuan maka bisa dipidana, orang yang menyuruh membuat bisa dipidana dan orang yang membuat bisa dipidana," katanya.
JPU juga mengatakan, dalam pembuatan akta nomor 8 yang dipersoalkan dalam kasus ini yaitu pemalsuan tanda tangan pelapor yang dicantumkan dalam akta.
"Didalam akte nomor 8, yang dipersoalkan pelapor, itu keadaannya palsu, mereka tidak ada disana tetapi ada tanda tangannya yang ditempelkan dalam akta," pungkasnya.
Terkait hal itu, penasihat hukum korban, Longser Sihombing SH MH menambahkan bahwasanya keterangan ahli pidana Prof Edi Warman sejalan dengan keterangan saksi ahli kenotariatan Dr Hendri Sinaga pada persidangan sebelumnya, yang mana Dr Hendri menyebutkan bahwa akta yang dibuat notaris Fujiyanto (DPO) pada umumnya melanggar UU Kenotariatan, karena itu saksi ahli pidana merujuk pasal 1872 KUHPerdata.
"Sebelumnya saksi ahli kenotariatan Dr Hendri Sinaga menyatakan bahwa pembuatan akta tersebut pada umumnya tidak sesuai prosedur. Karena dalam prosedur pembuatan akta para pihak harus datang ke kantor notaris, maka dari perkara ini sesuai pasal 1872 KUHPerdata adanya proses pidana terhadap alat bukti yang diduga palsu dalam hal ini akta Nomor 8, maka perkara ini jelas rana pidana," pungkasnya.
(Gb-ferndt01)