Oleh Delima Silalahi
"Nasian dia do hamu ito? (Dari mana kalian ito)", ujar suara nyaring anak kecil berusia sekitar enam tahun mengejutkanku ketika berjalan menuju sebuah rumah di Desa Bonan Dolok, Kecamatan Parmonangan- Tapanuli Utara.
Aku kaget, ketika melihat sumber suara itu adalah anak kecil yang sedang tersenyum polos padaku. Tiba-tiba aku terbahak-bahak karena dia adalah anak kecil yang ramah menyapaku "ito".
Aku senang melihat senyumnya dan ku jawab pertanyaannya, "Sian Siborongborong do ahu ito". Lagi-lagi dia tersenyum.
Jelang siang aku kembali melewati rumahnya. Dia bersama seorang anak laki-laki yang lebih besar duduk berdua di balik tumpukan kayu bakar menikmati makanan yang ternyata sebongkah kerak nasi.
Pemandangan yang tidak atau belum pernah kulihat sebelumnya. Biasanya aku melihat anak kecil duduk menikmati jajanan buatan pabrik masa kini yang banyak dijual di warung-warung di desa.
Aku pun menghampiri mereka, dan mereka sedikit malu, menyembunyikan wajahnya dibalik bongkahan kerak nasi.
"Wah, enak sekali kalian dua, bagi bou ya", tanyaku.
Anak yang lebih besar membagi sedikit kerak nssi itu padaku.
Ternyata mereka sembunyi supaya kerak nasi yang mereka pegang tidak diminta anak-anak lainnya, karena kerak nasi itu sangat berharga bagi anak anak disini.
Tiba-tiba hatiku sunyi. Yang tadinya merasa lucu dan kagum beralih miris. Bukan karena jajanan mereka, tapi karena mereka harus sembunyi menikmati kerak nasi itu hanya karena takut diminta yang lain. Sejenak aku pun pura-pura ikut menikmatinya. Padahal jujur, gigiku sampai sakit.
Aku pun kemudian beranjak ke dekat dapur, dan berbincang dengan beberapa ibu sembari makan kerak nasi.
Pembicaraan kami pun akhirnya membahas tentang luas lahan pertanian mereka yang hanya sekitar dua rante (800 M2). Selebihnya merupakan kawasan hutan dan konsesi PT TPL.
Sejenak aku diam, membayangkan luasnya hutan eukaliptus milik Sukanto Tanoto di desa mereka yang menghimpit ruang-ruang hidup mereka yang semakin menyempit.
Katanya perusahaan itu menciptakan kesejahteraan di Tano Batak. Menghasilkan dollar-dollar yang mempertebal pundi-pundi negara.
Ahh...apa iya?
Kenapa anak-anak itu harus bersembunyi di balik tumpukan kayu bakar untuk mengamankan sebongkah kerak nasi ditangannya dari ancaman perampasan anak-anak lainnya?
Jangan bilang karena kerak nasi itu makanan terenak. Jangan juga bilang mereka anak-anak hebat.
Cukup...jangan hibur mereka dengan harapan dan pujian palsu.
Liukan eukaliptus yang berjejer sepanjang mata memandang, sedang mengejekmu.
Iya mengejek kita. Karena dia berkuasa atas segala pengetahuan, atas kebijaksanaan, atas hukum dan atas doa-doa.
Kerak nasi ini telah kau nyatakan di tengah gelimang dolar yang didapatkan TPL ini.
(Penulis adalah Direktur KSPPM dan seorang aktivis lingkungan Danau Toba)