Areal Konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL).
GREENBERITA.com - Banjir Bandang yang terjadi di Kota Parapat pada Kamis, 13 Mei 2021 seharusnya menjadi momentum bangkitnya kesadaran masyarakat luas di Kawasan Danau Toba akan pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.
Wacana membangun Danau Toba sebagai tujuan pariwisata bertaraf internasional akan mustahil terwujud jika kerusakan lingkungan hidup tidak terselesaikan.
Bencana Lingkungan yang kerap terjadi dalam sepuluh tahun terakhir menjadi ancaman serius terhadap penduduk di daerah-daerah rawan bencana dan juga bagi wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba.
Padahal pemerintah berkewajiban menjamin hak atas lingkungan hidup yang aman bagi penduduk lokal dan juga wisatawan.
Seperti yang kita ketahui bersama, banjir bandang bukanlah kali pertama terjadi di Parapat. Pada 15 Desember 2018 lalu, Banjir Bandang terjadi di Desa Sibaganding, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun teptnya di Jembatan Sidua-Dua.
Masa liburan Natal dan Tahun Baru yang harusnya menjadi masa panen bagi pelaku wisata di Parapat dan sekitarnya, menjadi mimpi buruk bagi warga Parapat. Pemberitaan banjir bandnag mengakibatkan banyak orang mengurungkan niatnya berlibur akhir tahun di Parapat. Hal ini berdampak terhadap sumber pendapatan ekonomi masyarakat.
Banjir Bandang kembali berulang pada 11 Juli 2020, di mana material batu dan kayu menghantam bangunan gereja HKBP Pardomuan, Sualan dan merusak lima rumah warga dan perladangan penduduk. Walau tidak ada korban jiwa, namun banjir bandnag cukup mengagetkan warga sekitar.
Rentetan peristiwa banjir bandang yang terjadi sejak tahun 2018 sampai yang terjadi baru-baru ini, tentu saja memberikan rasa tidak nyaman tidak hanya bagi penduduk sekitar tapi juga bagi pengguna lalu lintas yang melewati pebukitan SIbatuloting tersebut. Apalagi melihat tidak adanya respon serius dari pemerintah mengatasi persoalan kerusakan hutan yang ada di sekitar loaksi tersebut,
Tentu kejadian di Parapat, mencadi cerminan kerusakan hutan yang massif terjadi di Kawasan Danau Toba selama ini. Sejarah masih mencatat, pada 29 April 2010, banjir bandang menghantam Desa Sabulan dan Ransang Bosi, Kecamatan Sitiotio- Kabupaten Samosir. Dalam bencana tersebut, lima orang penduduk Desa Sabulan dinyatakan meninggal.
Tidak hanya itu, banjir bandang juga merusak jembatan, fasilitas umum, 10 rumah warga dan sekitar sembilan hektar tanaman warga rusak tertimbun batu, gelondongan kayu dan lumpur. Desa tersebut persis berada sekitar 4-6 km di bawah Areal Hutagalung, di mana terdapat areal Konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Sebelum kehadiran PT TPL/Indorayon, areal tersebut adalah hutan alam yang berfungsi sebagai resapan air.
Masih di Kecamatan Sitiotio, pada Jumat, 3 Mei 2019 banjir bandang kembali terjadi di Desa Buntu Mauli I dan Ransang Bosi. Banjir bandang tersebut mengakibatkan seorang warga meninggal dunia, meluluhlantakkan persawahan dan perladangan masyarakat,merusak lima rumah warga dan merusak jembatan Binanga Batu Bolon.
Di tahun yang sama, 8 Desember 2019, baniir bandang juga terjadi di Desa Holbung, Kecamatan Sitio-Tio, yang merusak jembatan penghubung antar desa di Kecamatan Sitio-tio dan Pelabuhan di Holbung.
Selain di Kecamatan Sitio-tio, banjir bandang terjadi berkali-kali di Kecamatan Sianjur Mula-Mula Kabupaten Samosir. Pada 8 Maret 2018, banjir bandang terjadi di Desa Bonan Dolok, merusak Gedung sekolah SMP Bonan Dolok dan lahan pertanian warga . Kemudian pada 21 Maret 2019, masih di Kecamatan Sianjur Mula, banjir bandang kembali terjadi, dan merusak lahan pertanian di Desa Habeahan Naburahan, Desa Aek Sipitudai, dan Desa Sarimarihit. Desa-Desa tersebut berada di bawah Bentang Alam Tele, yang juga merupakan areal konsesi PT TPL.
Kerusakan hutan di Hulu Danau Toba juga telah mengakibatkan banjir bandang di Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada 19 November 2017 banjir bandang terjadi di Desa Marbun Tonga Dolok dan Desa Siunong-Unong Julu, kecamatan Bakti Raja. Menurut Pemkab Humbahas, banjir bandang ini terjadi akibat meluapnya Aek Silang yang mengalir ke Bakkara. Hulu dari Aek Silang berada di Kecamatan Pollung, yang juga merupakan areal konsesi PT TPL.
Dari investigasi yang dilakukan oleh KSPPM sejak tahun 2010 di Kecamatan Pollung, hutan yang menjadi DAS Aek Silang di Pollung mengalami kerusakan berat. Jika musim kemarau Aek Silang mengering dan meluap pas musim penghujan.
Tidak adanya penangan yang serius dari pemerintah terkait dengan kerusakan hutan yang terjadi di DAS Aek Silang, juga mengakibatkan terjdinya kembali banjir bandang Aek Silang pada 4 November 2020 di Baktiraja. Sekitar 20 hektar lahan pertanian masyarakat rerendam banjir bandang.
(Penulis adalah Direktur KSPPM Parapat)