Peristiwa banjir bandang yang terjadi setiap tahun di Kawasan Danau Toba membuktikan tata Kelola lingkungan yang buruk. |
GREENBERITA.com - Peristiwa banjir bandang yang terjadi setiap tahun di Kawasan Danau Toba membuktikan tata Kelola lingkungan yang buruk. Desa-desa yang berada di lembah pebukitan Hulu Danau Toba bukanlah desa-desa baru. Desa-desa tersebut sudah ada sejak zaman dulu, namun karena kerusakaan hutan di hulu menyebabkan desa-desa di atas menjadi desa rawan bencana banjir bandang dan longsor.
Hadirnya berbagai industri di hulu Kawasan Danau Toba mempercepat laju kerusakan hutan. Di awali dengan pemberian izin konsesi HPH/HTI hutan di hulu Kawasan Danau Toba berdasarkan SK No.493 KPTS-II/ Tahun 1992 ada sekitar 269.060 hektar kepada PT Inti Indorayon Utama yang sekarang beganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari. Luas konsesi ini telah mengalami delapan kali revisi, terakhir SK 307/menlhk/setjen/HPL.0/7/2020 menjadi 167.912 hektar. Walau mengalami pengurangan luas konsesi, namun bukan berarti kerusakan hutan belum terjadi pada lokasi-lokasi yang sudah dikeluarkan dari konsesi tersebut, Dalam SK Adendum yang terbaru misalnya, ada pengurangan sekitar 16 ribuan hektar di Kecamatan pollung, namun areal tersebut juga sebagian besar sudah beralih fungsi dari hutan alm menjadi hutan bekas eukaliptus.
Tentu bukan kebetulan, jika lokasi-lokasi terjadinya banjir bandang tersebut selalu bersinggungan dengan areal konsesi PT TPL. Hampir semuanya berada di hilir areal konsesi perusahaan penghasil pulp tersebut. Sehingga dugaan sebagian orang bahwa perusahaan tersebut berkontribusi besar menyebabkan terjadinya bencana-bencana ekologis yang telah terjadi sulit terbantahkan.
Sehingga sudah sepatutnya seruan para pemerhati lingkungan di Kawasan Danau Toba agar izin konsesi perusahaan ini dicabut harus dipertimbangkan serius oleh pengambil kebijakan di republic ini.
Benar, bahwa selain kerusakan hutan di areal konsesi tersebut, ada terdapat beberapa praktek perambahan hutan oleh perusahaan-perusahaan local skala kecil. Ini juga harus ditindak serius oleh intansi terkait. Seperti di lokasi Hutan Sibatuloting misalnya, disinyalir ada perusahaan kayu milik pengusaha Siantar. Konflik petani sekitar dan pemilik perusahaan sudah kerap terjadi, bahkan media dan organisasi masyarakat sipil sudah berkalikali mengadukan praktek perambahan hutan tersebut kepada pihak berwajib dan intansi kehutanan di lokasi tersebut, namun lagi-lagi tidak ada Tindakan tegas hingga saat ini.
Praktek-praktek Illegal Logging yang terjadi di Kawasan Danau Toba memang harus ditangani dengan serius. Namun mengevaluasi dan mencabut izin-izin konsesi, izin HPH/TI dan izin-izin legal lainnya yang ada di Hulu Danau Toba menajdi sangat penting. Karena kerusakan hutan bukan persoalan legal atau illegal.
Pemerintah harus meninjau ulang izin-izin tersebut jika serius membuat tata Kelola lingkungan yang sesuai dengan daya dukung Kawasan Danau Toba.
Pelibatan Masyarakat Adat Dalam Pemulihan Lingkungan
Kegigihan masyarakat adat di Kawasan Danau Toba mempertahankan hutan adatnya patut diapresiasi oleh pemerintah dan khalayak umum. Selain memperjuangkan tanah sebagai identitas, hal penting lainnya adalah perjuangan atas fungsi ekologis hutan adat. Masyarakat adat memiliki tata ruang dan tata Kelola tanah dan sumber daya alam yang masih dipraktekkan hingga saat ini. Prinsip dan keyakinan petani kemenyan bahwa kemenyan hanya bisa tumbuh bersama dengan kayu-kayu alam membuat mereka memperlakukan hutan alam dengan sangat baik dan menjaga kelestariannya. Sangat banyak pengetahuan dan kebijaksanaan local yang dipraktekkan oleh masyarakat adat dalam mengelola tanah dan hutan adatnya.
Kita bisa bandingkan hutan alam yang masih terjaga saat ini di Kawasan Danau Toba adalah hutan alam yang dikelola oleh masyarakat adat, seperti hutan kemenyan Pandumaan-Sipituhuta dan Hutan Kemenyan Pargamanan -Bintang Maria Parlilitan, Kerusakan hutan justru terjadi di hutan-hutan yang sudah dijadikan areal Hutan Tanaman Indutsri., Sayangnya atas dasar legalitas izin, upaya masyarakat adat mempertahankan hutan adatnya justru serring diintimidasi dan dikriminalisasi.
Jika pemerintah serius memulihkan kondisi hutan dan lingkungan hidup di Kawasan Danau toba, maka salah satu cara adalah menjadikan masyarakat adat menjadi mitra srategis dalam pelestarian hutan adat. Tentu dengan catatan, pemerintah kabupaten menerbitkan Perda Pengakuan dan Pelrindungan Masyarakat adat di Kawasan Dnau Toba. Ini menjadi salah satu solusi untuk menyelamatkan hutan-hutan alam yang tersisa. *
(Penulis adalah Direktur KSPPM Parapat/photo KSPPM)