Nelayan tradisional di kawasan Danau Toba mengikuti Festival 'Mardoton' atau menjaring ikan
GREENBERITA.com -Nelayan tradisional di kawasan Danau Toba mengikuti Festival 'Mardoton' atau menjaring ikan dengan perangkap jaring yang dipasang di air. Festival ini digelar untuk mengkampanyekan kelestarian ekosistem air Danau Toba.
Festival dipusatkan sepanjang pesisir pantai Tuk tuk Danau Toba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sabtu (13/3/2021). Febry Siallagan, dari Komunitas Anak Tao mengatakan, festival ini digelar tepatnya jatuh pada Bulan Sipaha Sada Kalender Batak.
Ia menjelaskan rangkaian festival ini berfokus pada edukasi. Antara lain, pembentukan komunitas Pardoton (Nelayan Tradisional) dan edukasi ekosistem Danau Toba. Kegiatan ini juga sebagai upaya untuk mengembalikan kejayaan nelayan Danau Toba yang hampir 15 tahun belakangan ini terpuruk akibat minimnya hasil tangkapan nelayan. Ketidak seimbangan ekosistem air Danau Toba saat ini sebagai salah satu pemicu minimnya ikan endemik. Melalui festival ini, Komunitas Anak Tao mengajak semua pihak menjaga ekosistem Danau super prioritas tersebut.
Nelayan juga diajak untuk melestarikan 'Mardoton' untuk menjaga dan melarang pemakaian setrum bom ikan, atau racun serta menargetkan penaburan benih secara berkala.
Tradisi Mardoton, tradisi menangkap ikan dengan doton Salah seorang Nelayan Danau Toba yang menggantungkan hidup dari Mardoton adalah Oppu Dika Sinaga (65).
Mardoton, kata dia, adalah cara menangkap ikan setelah nelayan mulai meninggalkan tradisi menangkap ikan dengan bubu sekitar puluhan tahun lalu. Bahan doton (Jaring) terbuat dari atom maupun berbahan kain yang dirajut menyerupai jaring dengan berbagai ukuran.
Bahan jaring tersebut ada yang diproduksi secara pabrikan. Pandaram atau Nelayan, kata dia, bukan hanya sekedar menangkap ikan. Menangkap ikan dengan cara Mardoton punya teknis khusus dalam memasang perangkap jaring.
Menurutnya, ada kiat kiat tertentu agar dapat menghasilkan tangkapan ikan yang baik dari Danau Toba. Mulai dari mempersiapkan doton (jaring) dan merangkainya dengan pelampung yang dipasang di danau.
"Manopong doton, berarti bermain dengan hitungan, menghitung mata jaring pada doton. Doton tidak dapat dipasang ke danau bila tidak ada "ramo", pelampung," kata Sinaga. Menurut Sinaga, menyiapkan jaring harus membutuhkan konsentrasi penuh dan pekerjaan ini bukan hal yang gampang dilakukan.
"Ada rumus di dalamnya agar mata jaring tak lari. Doton yang rusak, pada masanya tidak ujuk-ujuk langsung diganti doton baru. Ada cara untuk memperbaikinya yakini "mangumei" istilahnya, yang dalam praktiknya menyatukan kembali yang terpisah, merajut benang-benang yang terkoyak," jelasnya.
Ritual khusus mengawali tradisi mardoton Sebelum para nelayan turun ke danau dengan sampan, digelar ritual Adat Batak sebagai ucapan rasa syukur.
Acara ritual ini dinamakan 'Pasahat Itak Putih Tu Namboru Saniang Naga' dan "Poda Patuat Solu". Oppu Disnan Sigiro, salah seorang Nelayan yang masih setia dengan pesan pesan leluhur mengatakan, ada prosesi tertentu sebelum nelayan terjun untuk menangkap ikan ke Danau Toba.
Tujuannya, kata Disnan, agar para Nelayan memperoleh kemakmuran, keselamatan dan tangkapan yang melimpah,rilis Kompas.com
"Ada prosesi tertentu agar Solu (sampan) membawa keberuntungan pada penggunanya. Membuat sesaji dari tepung beras untuk media doa kepada Tuhan Sang Pencipta melalui Namboru Saniang Naga Laut," katanya.
Kegiatan ini terselenggara atas inisiasi komunitas Anak Tao yang didukung Kemenparekraf, BPODT, Dinas Pariwisata Samosir dan Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB).
(gb-rizal/rel)