Ma Kyal Sin, seorang perempuan berusia 18 tahun harus tewas di tangan militer setelah peluru tajam bersarang di kepalanya. |
Perempuan dengan nama adopsi Angel ini menjadi simbol revolusi kaum muda. Betapa tidak, potret perjuangannya mengenakan kaos hitam dengan tulisan “Everything Will be Ok” viral di media sosial. Dia juga membawa botol Coca-Cola di tangannya untuk menolong demonstran lain yang pandangannya terganggu akibat gas air mata.
Ma kyal Sin membawa botol Coca-Cola di tangannya untuk menolong demonstran lain yang pandangannya terganggu akibat gas air mata. |
Melalui secarik kertas yang dibawanya, Kyal Sin menuliskan, “jika saya terluka dan tidak dapat kembali dengan kondisi baik, tolong jangan selamatkan saya. Saya akan memberikan bagian tubuh saya yang berguna kepada seseorang yang membutuhkan.”
“Dia mengorbankan dirinya untuk mengajarkan kepada kita tentang harapan. Ini pasti sebuah kemenangan revolusi,” tulis Aung Naing Soe, seorang jurnalis yang rutin melaporkan kondisi terbaru di Burma melalui akun Twitter @AungNaingSoeAns.
Generasi muda menolak tunduk di bawah kekuasaan Jenderal Min Aung Hlaing. Mereka tidak ingin kebebasan yang selama ini diperoleh melalui demokrasi harus terenggut kembali. Bukan hanya mewakili generasi muda, majunya Kyal Sin ke garis depan menandakan kelompok perempuan juga berdiri di garis depan membela pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
“Dia adalah pahlawan bagi negara kita. Dengan berpartisipasi dalam revolusi, generasi perempuan muda kita menunjukkan bahwa kita tidak kalah berani dari laki-laki,” tutur Ma Cho Nwe Oo, salah satu teman Kyal Sin, sebagaimana dikutip dari The New York Times.
Bukannya tanpa alasan, gerakan ini bangkit. Dalam artikel yang ditulis oleh Hannah Beech itu, keputusan para jenderal untuk membatasi kekuasaan Suu Kyi menandakan sistem patriarki di Burma yang masih sangat kental.
Aksi protes dengan menginjak foto yang di duga penembak jitu Myanmar |
Sebelumnya, Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengungkap hasil perbincangan dengan para jenderal. Fraksi militer mengaku tidak takut dengan sanksi atau tidak khawatir jika terisolasi dari pergaulan global.
Christine sempat memperingatkan bahwa Dewan Keamanan dan PBB kemungkinan besar akan memberi tindakan tegas, pasca bentrokan antara aparat dengan massa telah merenggut puluhan nyawa. Kerusuhan yang terjadi pada Rabu (3/3/2021) disebut sebagai hari paling berdarah sejak kudeta dilancarkan, karena menewaskan 38 orang dalam sehari,rilis idntimes.com
“Jawaban mereka adalah kami terbiasa dengan sanksi dan kami selamat dari sanksi itu di masa lalu,” kata Christine meniru pernyataan militer, melalui cuplikan video dari Swiss sebagaimana dilansir dari Channel News Asia, Kamis (4/3/2021).
“Kami harus belajar hanya dengan beberapa teman,” tambah Christine, mencontohkan jawaban ketika diperingatkan soal ancaman terisolir dari komunitas internasional.
Ditambahkan pula oleh Thomas Andrews selaku Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (HAM) di Myanmar. Dia mendesak Dewan Keamanan PBB mengambil tindakan lebih tegas menanggapi kerusuhan sejak militer melancarkan kudeta Myanmar pada Senin, 1 Februari 2021 silam.
Adapun sanksi yang disarankan adalah embargo senjata dan ekonomi global. Pasalnya, kubu militer yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing terlihat tidak khawatir dengan segala kecaman yang disampaikan komunitas internasional.
“Taruhannya (sanksi) tidak bisa lebih tinggi lagi. DK PBB harus segera memberlakukan embargo senjata, menjatuhkan sanksi ekonomi yang menargetkan sumber pendapatan militer Myanmar,” kata Andrews sebagaimana dilaporkan Channel News Asia, Kamis (4/3/2021).
(gb-rizal/rel)