Oleh Bachtiar Sitanggang
GREENBERITA.com- Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara (Kapolda SU) Irjen Pol. Drs. Martuani Sormin M.Si, untuk ketiga kalinya akan menginjakkan kaki di Samosir dan tepatnya di Garoga, Simanindo, salah satu desa di Pulo Samosir Nauli, Negeri Indah Berkat Tuhan, Kabupaten Samosir pada Rabu, 3 Juni 2020.
Rakyat Samosir harus bersyukur dan berterimakasih, Kapolda yang menjabat akhir Desember tahun lalu sudah tiga kali ke Samosir di banding pejabat lain mungkin sampai pindah tugas tidak pernah menginjak Samosir, kecuali berwisata.
Tetapi Martuani menyempatkan diri meninjau Samosir walaupun di Sumut ada 33 Dati II, di pantai barat dan Pulau Nias.
Kabupaten Samosir adalah pemekaran dari Toba Samosir (Tobasa) dan Tobasa pemekaran dari Tapanuli Utara (Taput) sebagai bagian dari Keresidenan Tapanuli, Provinsi Sumatera Utara.
Tinggal Karesidenan Tapanuli (sekarang dengan 18 Dati II) di Sumatera yang
belum menjadi provinsi, sementara karesidennan sudah lama menjadi
provinsi seperti Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, Riau dan Sumatera Barat.
Kehadiran Kapolda ke Samosir selain menanam jagung dan memberikan bantuan sembako, tentu diharapkan juga untuk menampung aspirasi masyarakat terutama mendapatkan gambaran demografi dan geografi
serta tuntutan pelayanan pemerintah terhadap warganya, bahwa Karesidenan Tapanuli sudah sewajarnya satu propinsi, terserah aspirasi masyarakat serta kemauan politik Pusat dan Daerah soal nama dan tempat ibukota termasuk pembagiannya, sebab Pulau Nias sudah lima Dati II mungkin selayaknya pula satu Propinsi.
Dengan pemahaman akan wilayah dan masyarakat Irjen Pol. Martuani akan lebih mudah menjembatani berbagai persyaratan yang dibutuhkan untuk mempercepat proses mem-Provinsi-kan pegunungan dan Pantai Barat Sumatera Utara.
Sebagai institusi pelayan dan pelindung masyarakat, Kapolda pastimenanamkan kesadaran hukum bagi masyarakat bahkan kepada para pejabat eksekutif dan lesislatif. Sebab tanpa kesadaran hukum yang tinggi pembangunan dan keamanan akan terganggu.
Belakangan pejabat Kabupaten Samosir tidak lagi gemar menggunakan slogan “Samosir, negeri indah kepingan surga”, apakah karena ke-genit-an atau kekurangan perbendaharaan istilah sehingga sampai hati “memecah belah” hak prerogative Tuhan Allah Yang Maha Esa; sebab pecahan surga itu apa bedanya dengan neraka(?).
Kalau mau slogan indah agamis lebih fatsun-religius “Samosir Nauli, Negeri Indah Berkat Tuhan” dan Pak Kapolda pasti lebih memahami itu.
Pasti berbeda “negeri indah kepingan surga” dibanding “Pulau Dewata” atau “Serambi Mekah”.
Kalau Pak Kapolda berkenan melihat indahnya Danau Toba dan “Samosir Nauli, berkat Tuhan” sebentar dari Tomok ke Parmonangan terus melintasi hutan ke Ronggur nihuta terus ke Pangururan.
Pasti akan mengamini keindahan alam Danau Toba tidak ada duanya, tetapi kehidupan warganya jauh dari senadung gubahan Guru Nahum Situmorang, tanahnya sudah gersang dan hasil pertanyannya jauh merosot.
Di Tengah hutan Kapolda akan menyaksikan areal hutan bekas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah menjelang Ronggur nihuta, yang dikeluhkan masyarakat dan diramaikan media.
Di Pangururan, kedudukan Asisten Demang, sejak penjajahan Belanda sampai sekarang Lembaga Pemasyarakatan sekaligus Rumah Tahanan Negara (LP/Rutan) tetap berada di pemukiman, di kiri-kanan LP adalah rumah penduduk yang mungkin hanya jarak 4-5 meter dari dinding rumah warga dengan kawat duri LP (sekarang sudah tembok).
Sebagai bagian dari pelaksanaan penegakan hukum, barangkali Kapolda memiliki kepedulian atas keberadaan LP/Rutan tersebut, sudah lebih 15 tahun Samosir menjadi Kabupaten, tidak ada yang mempedulikan itu.
Untuk kepentingan institusi Polri juga, akan didukung rakyat Samosir apabila Kapolda berinisiatif mendorong terbentuknya Pengadilan Negeri.
Pangururan tidak seperti sekarang sebagai wilayah hukum Pengadilan Negeri Balige, sebab akan sulit dan makan tenaga dan biaya apabila membawa perkara termasuk tahanan dari Pangururan ke Pengadilan Negeri Balige.
Kehadiran Kapolda benar-benar menjadi berkat bagi masyarakat Samosir sehingga penyakit masyarakat yang telah ada tidak semakin berkembang, seperti perjudian jackpot-tembak ikan, permaninan bilyar, togel, kehidupan malam serta pencurian ternak dan lain-lain serta kemungkinan peredaran narkoba dan tanaman ganja.
Permainan ketangkasan, café-café dan kehidupan malam mungkin di daerah lain adalah biasa akan tetapi memiliki ijin, tetapi buat Samosir daerah Adat yang religius terutama berpenghasilan rendah sebagai bagiandari “Peta Kemiskinan” belum waktunya.
Kita setuju yang bermain itu ditangkap, adalah tidak memenuhi rasa keadilan apabila pemilik barang haram itu tidak ditindak, barangkali juga Kepala Desa dan Camatnya, perlu diminta pertanggungjawabannya, mengapa dibiarkan.
Sudah lama guru-guru dan orangtua murid serta pihak gereja mengeluhkannya, sebab menguras dana masyarakat dan mengganggu penunaian kewajiban warga.
Bantuan Sosial Pemerintah percuma kalau tokoh disedot permainan ketangkasan?
Keterlaluan kalau sampai anggota Polri yang menertibkan perjudian “disandera” perbuatan melawan petugas bukan karakter dan watak masyarakat Samosir, akan tetapi karena dibiarkan akhirnya mendarah daging, dan kalau dilarang menjadi berang.
Dengan kehadiran Kapolda akan mengetahui berjalannya fungsi-fungsi pemerintahan apakah efektif dan efisien seperti daerah lain siap apalagi menjelang penerapan new normal menghadapi covid-19, apakah rakyat
taat dengan protokol kesehatan, apakah Pemda menyiapkan tempat cuci tangan di tempat-tempat umum, apakah Rumah Sakit dan perawatnya sesuai dengan standat WHO dan lain-lain dan lain-lain.
Dengan kehadiran Kapolda, masyarakat tidak hanya merasakan perhatian Pemerintah pada saat Pemilu dan Pilkada.
Selamat datang Bapak Kapolda di Pulo Samosir Nauli, Negeri Berkat Tuhan.
Selamat menikmati angin sepoi-sepoi basah Bukit Barisan dan gemercik ombak Danau Toba.***
Rakyat Samosir harus bersyukur dan berterimakasih, Kapolda yang menjabat akhir Desember tahun lalu sudah tiga kali ke Samosir di banding pejabat lain mungkin sampai pindah tugas tidak pernah menginjak Samosir, kecuali berwisata.
Tetapi Martuani menyempatkan diri meninjau Samosir walaupun di Sumut ada 33 Dati II, di pantai barat dan Pulau Nias.
Kabupaten Samosir adalah pemekaran dari Toba Samosir (Tobasa) dan Tobasa pemekaran dari Tapanuli Utara (Taput) sebagai bagian dari Keresidenan Tapanuli, Provinsi Sumatera Utara.
Tinggal Karesidenan Tapanuli (sekarang dengan 18 Dati II) di Sumatera yang
belum menjadi provinsi, sementara karesidennan sudah lama menjadi
provinsi seperti Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, Riau dan Sumatera Barat.
Kehadiran Kapolda ke Samosir selain menanam jagung dan memberikan bantuan sembako, tentu diharapkan juga untuk menampung aspirasi masyarakat terutama mendapatkan gambaran demografi dan geografi
serta tuntutan pelayanan pemerintah terhadap warganya, bahwa Karesidenan Tapanuli sudah sewajarnya satu propinsi, terserah aspirasi masyarakat serta kemauan politik Pusat dan Daerah soal nama dan tempat ibukota termasuk pembagiannya, sebab Pulau Nias sudah lima Dati II mungkin selayaknya pula satu Propinsi.
Dengan pemahaman akan wilayah dan masyarakat Irjen Pol. Martuani akan lebih mudah menjembatani berbagai persyaratan yang dibutuhkan untuk mempercepat proses mem-Provinsi-kan pegunungan dan Pantai Barat Sumatera Utara.
Sebagai institusi pelayan dan pelindung masyarakat, Kapolda pastimenanamkan kesadaran hukum bagi masyarakat bahkan kepada para pejabat eksekutif dan lesislatif. Sebab tanpa kesadaran hukum yang tinggi pembangunan dan keamanan akan terganggu.
Belakangan pejabat Kabupaten Samosir tidak lagi gemar menggunakan slogan “Samosir, negeri indah kepingan surga”, apakah karena ke-genit-an atau kekurangan perbendaharaan istilah sehingga sampai hati “memecah belah” hak prerogative Tuhan Allah Yang Maha Esa; sebab pecahan surga itu apa bedanya dengan neraka(?).
Kalau mau slogan indah agamis lebih fatsun-religius “Samosir Nauli, Negeri Indah Berkat Tuhan” dan Pak Kapolda pasti lebih memahami itu.
Pasti berbeda “negeri indah kepingan surga” dibanding “Pulau Dewata” atau “Serambi Mekah”.
Kalau Pak Kapolda berkenan melihat indahnya Danau Toba dan “Samosir Nauli, berkat Tuhan” sebentar dari Tomok ke Parmonangan terus melintasi hutan ke Ronggur nihuta terus ke Pangururan.
Pasti akan mengamini keindahan alam Danau Toba tidak ada duanya, tetapi kehidupan warganya jauh dari senadung gubahan Guru Nahum Situmorang, tanahnya sudah gersang dan hasil pertanyannya jauh merosot.
Di Tengah hutan Kapolda akan menyaksikan areal hutan bekas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah menjelang Ronggur nihuta, yang dikeluhkan masyarakat dan diramaikan media.
Di Pangururan, kedudukan Asisten Demang, sejak penjajahan Belanda sampai sekarang Lembaga Pemasyarakatan sekaligus Rumah Tahanan Negara (LP/Rutan) tetap berada di pemukiman, di kiri-kanan LP adalah rumah penduduk yang mungkin hanya jarak 4-5 meter dari dinding rumah warga dengan kawat duri LP (sekarang sudah tembok).
Sebagai bagian dari pelaksanaan penegakan hukum, barangkali Kapolda memiliki kepedulian atas keberadaan LP/Rutan tersebut, sudah lebih 15 tahun Samosir menjadi Kabupaten, tidak ada yang mempedulikan itu.
Untuk kepentingan institusi Polri juga, akan didukung rakyat Samosir apabila Kapolda berinisiatif mendorong terbentuknya Pengadilan Negeri.
Pangururan tidak seperti sekarang sebagai wilayah hukum Pengadilan Negeri Balige, sebab akan sulit dan makan tenaga dan biaya apabila membawa perkara termasuk tahanan dari Pangururan ke Pengadilan Negeri Balige.
Kehadiran Kapolda benar-benar menjadi berkat bagi masyarakat Samosir sehingga penyakit masyarakat yang telah ada tidak semakin berkembang, seperti perjudian jackpot-tembak ikan, permaninan bilyar, togel, kehidupan malam serta pencurian ternak dan lain-lain serta kemungkinan peredaran narkoba dan tanaman ganja.
Permainan ketangkasan, café-café dan kehidupan malam mungkin di daerah lain adalah biasa akan tetapi memiliki ijin, tetapi buat Samosir daerah Adat yang religius terutama berpenghasilan rendah sebagai bagiandari “Peta Kemiskinan” belum waktunya.
Kita setuju yang bermain itu ditangkap, adalah tidak memenuhi rasa keadilan apabila pemilik barang haram itu tidak ditindak, barangkali juga Kepala Desa dan Camatnya, perlu diminta pertanggungjawabannya, mengapa dibiarkan.
Sudah lama guru-guru dan orangtua murid serta pihak gereja mengeluhkannya, sebab menguras dana masyarakat dan mengganggu penunaian kewajiban warga.
Bantuan Sosial Pemerintah percuma kalau tokoh disedot permainan ketangkasan?
Keterlaluan kalau sampai anggota Polri yang menertibkan perjudian “disandera” perbuatan melawan petugas bukan karakter dan watak masyarakat Samosir, akan tetapi karena dibiarkan akhirnya mendarah daging, dan kalau dilarang menjadi berang.
Dengan kehadiran Kapolda akan mengetahui berjalannya fungsi-fungsi pemerintahan apakah efektif dan efisien seperti daerah lain siap apalagi menjelang penerapan new normal menghadapi covid-19, apakah rakyat
taat dengan protokol kesehatan, apakah Pemda menyiapkan tempat cuci tangan di tempat-tempat umum, apakah Rumah Sakit dan perawatnya sesuai dengan standat WHO dan lain-lain dan lain-lain.
Dengan kehadiran Kapolda, masyarakat tidak hanya merasakan perhatian Pemerintah pada saat Pemilu dan Pilkada.
Selamat datang Bapak Kapolda di Pulo Samosir Nauli, Negeri Berkat Tuhan.
Selamat menikmati angin sepoi-sepoi basah Bukit Barisan dan gemercik ombak Danau Toba.***
(Penulis adalah wartawan senior
dan advokat berdomisili di Jakarta)