JAKARTA, GREENBERITA.com — Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan, bahwa ghibah, hoaks, dan kabar-kabar fitnah bisa meresahkan masyarakat dan bisa memecah belah bangsa kalau ini tidak direspon dengan cepat.
“Jangan dianggap ini hal yang ringan, ini hal yang berat bagi utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” tegas Presiden Jokowi saat bersilaturahmi dengan peserta Halaqah Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren Jawa Barat Tahun 2019, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (28/2) siang.
Menurut Kepala Negara banyak logika yang tidak masuk terkait hoaks-hoaks itu. Ia menunjuk contoh hoaks kemarin, masalah nanti pemerintah akan melegalkan kawin sejenis.
“Coba, masya Allah logikanya nggak masuk. Negara kita ini adalah negara yang sangat menghargai norma-norma agama, nilai-nilai agama. Ada lagi isu azan tidak boleh. Ini apalagi,” ujar Presiden Jokowi.
Namun Presiden menyampaikan, dari survei yang dilakukan itu sembilan juta orang percaya mengenai kabar-kabar hoaks dan fitnah seperti itu. Dulu, lanjut Presiden, dirinya tenang-tenang saja, empat tahun sudah dirinya diam. Tapi setelah hasil penelitian itu, Presiden Jokowi menilai ini berbahaya kalau tidak direspon.
“Yang percaya sembilan juta, didiamkan jadi lima belas juta, didiamkan jadi tiga puluh juta, didiamkan jadi lima puluh juta. Berbahaya sekali,” tegas Presiden yang dilansir dari target24jamnews.com.
Termasuk hal berkaitan dengan dirinya pribadi, Presiden menunjuk hoaks dirinya itu PKI. Ada lagi antek asing, dan juga isu dirinya anti Islam, anti ulama.
“Lho, saya terus terang aja bingung. Lha yang tandatangan Hari Santri itu siapa. Kalau anti Islam, anti ulama ya nggak mungkin Hari Santri saya tandatangani. Saya masukkan ke laci saya aja udah,” ujar Presiden Jokowi seraya menambahkan, sebulan setelah dilantik langsung dirinya tandatangani kok. Sehingga setiap 22 Oktober sekarang ini kita rayakan sebagai Hari Santri.
Kepala Negara mengemukakan, tiap hari dirinya juga dengan ulama, tiap minggu keluar masuk pondok pesantren, dengan santri, dengan ulama. Tapi ya itu waktu dirinya mau pulang pamit, Pak Kiai bertanya kabar mengenai PKI itu.
“Saya sampaikan tadi, Pak Kiai lahir saya tahun 61, PKI dibubarkan tahun 65-66, umur saya baru empat tahun. Beliau langsung kaget Astaghfirullah, bener Pak Presiden ya, kok saya nggak mikir seperti itu,” ungkap Presiden Jokowi menirukan respon dari Kiai dimaksud.
Menurut Presiden Jokowi, mungkin juga ada banyak kiai yang percaya mengenai itu tapi nggak berani bisik-bisik. Karena menurutnya, sembilan juta itu jumlah yang sangat banyak sekali.
Negara Besar
Sebelumnya di hadapan peserta Halaqah Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren Jawa Barat Tahun 2019, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia adalah Negara dengan penduduk muslim terbesar dunia.
“Ini selalu saya sampaikan di konferensi-konferensi besar dunia. Bahwa di dalam pembukaan pasti saya sampaikan, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.,” ungkap Presiden.
Kita, lanjut Presiden, juga dianugerahi oleh Allah SWT berbeda-beda. Sudah menjadi sunnatullah, sudah menjadi hukum Allah bahwa kita ini berbeda-beda. Baik suku, baik agama, baik adat, baik tradisi, baik budaya, baik bahasa daerah beda-beda.
Jangan sampai, lanjut Presiden, karena urusan politik, urusan pilihan bupati, urusan pilihan gubernur, urusan pilihan walikota, naik lagi urusan pilihan presiden yang setiap lima tahun itu pasti ada terus, kita merasa tidak menjadi saudara. Kita tidak rukun.
“Akan sangat rugi besar gara-gara politik kita masuk ke ruangan tadi,” tutur Presiden.
Oleh sebab itu, Kepala Negara mengajak kepada para ulama untuk menyampaikan kepada masyarakat, menyampaikan kepada lingkungannya, menyampaikan kepada santri-santrinya, baik dalam majelis tak’lim, dalam majelis-majelis yang lebih besar untuk menjaga merawat persatuan kita, merawat kerukunan kita, merawat persaudaraan kita, merawat ukhuwah kita.
“Baik Ukhuwah Islamiyah maupun Ukhuwah Wathaniyah kita, sebagai saudara sebangsa dan setanah air,” tegas Presiden Jokowi.
Tampak hadir dalam kesempatan itu antara lain Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dan Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki. (rel-marsht)
“Jangan dianggap ini hal yang ringan, ini hal yang berat bagi utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” tegas Presiden Jokowi saat bersilaturahmi dengan peserta Halaqah Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren Jawa Barat Tahun 2019, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (28/2) siang.
Menurut Kepala Negara banyak logika yang tidak masuk terkait hoaks-hoaks itu. Ia menunjuk contoh hoaks kemarin, masalah nanti pemerintah akan melegalkan kawin sejenis.
“Coba, masya Allah logikanya nggak masuk. Negara kita ini adalah negara yang sangat menghargai norma-norma agama, nilai-nilai agama. Ada lagi isu azan tidak boleh. Ini apalagi,” ujar Presiden Jokowi.
Namun Presiden menyampaikan, dari survei yang dilakukan itu sembilan juta orang percaya mengenai kabar-kabar hoaks dan fitnah seperti itu. Dulu, lanjut Presiden, dirinya tenang-tenang saja, empat tahun sudah dirinya diam. Tapi setelah hasil penelitian itu, Presiden Jokowi menilai ini berbahaya kalau tidak direspon.
“Yang percaya sembilan juta, didiamkan jadi lima belas juta, didiamkan jadi tiga puluh juta, didiamkan jadi lima puluh juta. Berbahaya sekali,” tegas Presiden yang dilansir dari target24jamnews.com.
Termasuk hal berkaitan dengan dirinya pribadi, Presiden menunjuk hoaks dirinya itu PKI. Ada lagi antek asing, dan juga isu dirinya anti Islam, anti ulama.
“Lho, saya terus terang aja bingung. Lha yang tandatangan Hari Santri itu siapa. Kalau anti Islam, anti ulama ya nggak mungkin Hari Santri saya tandatangani. Saya masukkan ke laci saya aja udah,” ujar Presiden Jokowi seraya menambahkan, sebulan setelah dilantik langsung dirinya tandatangani kok. Sehingga setiap 22 Oktober sekarang ini kita rayakan sebagai Hari Santri.
Kepala Negara mengemukakan, tiap hari dirinya juga dengan ulama, tiap minggu keluar masuk pondok pesantren, dengan santri, dengan ulama. Tapi ya itu waktu dirinya mau pulang pamit, Pak Kiai bertanya kabar mengenai PKI itu.
“Saya sampaikan tadi, Pak Kiai lahir saya tahun 61, PKI dibubarkan tahun 65-66, umur saya baru empat tahun. Beliau langsung kaget Astaghfirullah, bener Pak Presiden ya, kok saya nggak mikir seperti itu,” ungkap Presiden Jokowi menirukan respon dari Kiai dimaksud.
Menurut Presiden Jokowi, mungkin juga ada banyak kiai yang percaya mengenai itu tapi nggak berani bisik-bisik. Karena menurutnya, sembilan juta itu jumlah yang sangat banyak sekali.
Negara Besar
Sebelumnya di hadapan peserta Halaqah Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren Jawa Barat Tahun 2019, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia adalah Negara dengan penduduk muslim terbesar dunia.
“Ini selalu saya sampaikan di konferensi-konferensi besar dunia. Bahwa di dalam pembukaan pasti saya sampaikan, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.,” ungkap Presiden.
Kita, lanjut Presiden, juga dianugerahi oleh Allah SWT berbeda-beda. Sudah menjadi sunnatullah, sudah menjadi hukum Allah bahwa kita ini berbeda-beda. Baik suku, baik agama, baik adat, baik tradisi, baik budaya, baik bahasa daerah beda-beda.
Jangan sampai, lanjut Presiden, karena urusan politik, urusan pilihan bupati, urusan pilihan gubernur, urusan pilihan walikota, naik lagi urusan pilihan presiden yang setiap lima tahun itu pasti ada terus, kita merasa tidak menjadi saudara. Kita tidak rukun.
“Akan sangat rugi besar gara-gara politik kita masuk ke ruangan tadi,” tutur Presiden.
Oleh sebab itu, Kepala Negara mengajak kepada para ulama untuk menyampaikan kepada masyarakat, menyampaikan kepada lingkungannya, menyampaikan kepada santri-santrinya, baik dalam majelis tak’lim, dalam majelis-majelis yang lebih besar untuk menjaga merawat persatuan kita, merawat kerukunan kita, merawat persaudaraan kita, merawat ukhuwah kita.
“Baik Ukhuwah Islamiyah maupun Ukhuwah Wathaniyah kita, sebagai saudara sebangsa dan setanah air,” tegas Presiden Jokowi.
Tampak hadir dalam kesempatan itu antara lain Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dan Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki. (rel-marsht)