Libur semester pada awal Januari 2016, menjadi gerbang pembuka pengalaman menjadi buzzer.
"Ada ajakan teman. Saat itu saya masih kuliah. Belum tahu juga pekerjaan buzzer. Saat akhir 2016, ada tawaran 'main' di Pilkada (DKI). Akhirnya tidak jadi berhenti dan lanjut. Baru setelah Pilkada benar-benar selesai," ungkapnya. "Inti dari buzzer adalah mendorong suatu isu."
Begitulah kisah seorang buzzer ketika menceritakan pekerjaannya. Rahaja membagikan kisahnya sebagai buzzer dalam pusaran politik Indonesia yang dilansir dari cnnindonesia.com
Gemuruh buzzer semakin riuh terdengar jelang pesta demokrasi terbesar Indonesia tahun depan. Aksi buzzer dinilai bisa ikut mendengungkan isu-isu panas untuk membesarkan branding tokoh politik yang didukung.
Mereka pun memiliki peran besar untuk menggiring opini publik, salah satunya menggunakan media sosial. Dengan 'kekuatannya' tersebut, tak ayal barisan buzzer ini menjadi ujung tombak para tokoh politik untuk melenggangkan kemenangan.
Rahaja sendiri merupakan mantan buzzer yang sempat aktif dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Dia mengungkapkan buzzer merupakan orang yang mendorong suatu isu dengan berbagai cara.
Menurut Rahaja, bagaimana pun caranya, jika orang tersebut mendorong sebuah isu, orang tersebut bisa disebut sebagai buzzer.
"Buzzer bukan siapa-siapa. Mereka pemakai akun entah pribadi atau palsu untuk menggiring opini publik di media sosial dan berbagai forum untuk mendorong sebuah isu," kisahnya pada CNNIndonesia.com.
Dia pun mengisahkan, pada praktiknya khususnya buzzer politik ini sering menggunakan berbagai akun palsu untuk mendorong isu dengan tujuan bisa 'panas' di media sosial. Rahaja melihat buzzer adalah orang yang mendorong atau mempromosikan suatu isu agar bisa mendapat brand awareness bagi masyarakat.
Ilutrasi |
Berangkat dari definisi yang Rahaja sebutkan artinya orang-orang seperti Key Opinion Leader(KOL), influencer hingga wiraniaga atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia marketing bisa disebut sebagai buzzer.
Rahaja bahkan mengatakan biasanya KOL dan influencer ini memiliki pasukan akun-akun untuk ikut mendorong isu yang digaungkan oleh KOL dan influencer tersebut.
"Analogi buzzer itu, Anda punya restoran kemudian bikin promo atau Anda ajak teman ke restoran. Ini supaya orang melihat dari luar bahwa restoran Anda itu ramai sehingga mereka mau datang," ujar Rahaja
"Nah, untuk itu Anda pakai buzzer, teman Anda itu buzzer. Jadi sederhananya, aksi buzzermurni marketing. Saya bayar orang, supaya orang ini berbicara baik tentang saya atau berbicara buruk tentang lawan saya," lanjutnya.
Rahaja berpendapat yang salah dari pihaknya adalah menggunakan ribuan akun palsu untuk mendorong sebuah isu. Rahaja mengatakan buzzer juga digunakan di dunia marketing untuk mempromosikan suatu merek atau produk tertentu.
"Intinya kami salah karena pakai akun palsu, sisanya itu marketing. Saya punya aturan tidak pernah black campaign. Saya selalu jamin dalam tim saya tidak ada berita bohong. Praktiknya memang banyak yang menggunakan hoaks," ujar Rahaja.
Rahaja menceritakan saat Pilkada DKI Jakarta, dirinya berperan sebagai pemimpin dari sebuah tim kecil yang berjumlah sepuluh orang. Tim ini memiliki 200 akun media sosial. Sepuluh orang itu berfungsi untuk mendorong isu-isu pesanan untuk menyerang atau bertahan di media sosial.
Algoritma beberapa media sosial memang memiliki formula trending topic. Volume jumlah postingan, seberapa banyak jumlah volume tersebut dalam suatu waktu, kemudian postingan tersebut diposting ulang oleh warganet dari berbagai wilayah.
"Butuh seribu cuitan dalam waktu intens dan membuat jadi trending dalam waktu cepat, singkat, dari seluruh Indonesia. Jadi kami dorong bersama-sama. Kami pakai tagging area juga supaya jadi trending topic nasional, tidak hanya di provinsi," kenang Rahaja.
Rahaja bahkan mengatakan dirinya adalah seorang konsultan politik, dan buzzer merupakan salah satu fungsi konsultan politik. Konsultan politik berperan untuk mengawasi isu-isu panas, memberikan rekomendasi langkah-langkah yang harus dilakukan tokoh politik agar kesadaran publik ke tokoh politik itu meningkat.
"Saya bahkan tidak tahu awalnya kerja sebagai buzzer. Jadi saya merasa itu memang saya konsultan politik. Karena saya buat banyak konten seperti video, narasi, dan strategi isu," ujar Rahaja.
"Buzzer menurut kami adalah individu atau akun dengan kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian dan/atau membangun percakapan tentang isu atau topik spesifik tertentu," ujar Rinaldi.
Rinaldi mengatakan media sosial menjadi arena pertarungan untuk membentuk sebuahbranding. Pasalnya, pengguna media sosial juga meningkat setiap tahunnya. Pada 2015 terdapat 72 juta orang, meningkat pada 2016 terdapat 76 juta orang, dan 2017 terdapat 106 juta pengguna media sosial. Sejak 2015 ke 2017 terjadi peningkatan sebesar 34 persen.
Penelitian yang dilakukan We Are Social mengungkapkan rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 23 menit dalam sehari untuk mengakses media sosial. Rinaldi mengatakan angka ini meningkat dari 2017. Pada 2017, rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 16 menit untuk mengakses media sosial.
"Media sosial pun tumbuh menjadi pasar yang menarik secara ekonomis maupun politis. Peluang meraup untung maupun menggaet massa ini lantas dimanfaatkan oleh berbagai aktor, mulai dari industri periklanan hingga para pemain politik. Para pelaku ini menyuarakan kepentingannya dengan kicauan berbayar," kata Rinaldi.
Analis Communication and Information System Security Research Center (CISSERec) Pratama Persadha menjelaskan masa depan buzzer masih sangat 'cerah'. Pasalnya, buzzer tidak selalu negatif.
"Karena ada juga jasa buzzer untuk mengangkat konten atau tokoh secara positif. Dan tidak selalu dengan media sosial, ada aksi buzzing lewat blog atau konten lain seperti video," ujarnya
Sehingga dengan meningkatnya penggunaan media sosial dan terkoneksinya manusia satu sama lain, keperluan akan buzzer akan semakin tinggi. Selain di dunia politik, buzzer juga sangat dibutuhkan di dunia bisnis.
"Sekali lagi, penggunaannya bisa positif dan negatif," tambahnya.
(rel-marsht)