Tim Kuasa Hukum Agni |
YOGYAKARTA, GREENBERITA.com - Keterangan Ketua Tim Kuasa Hukum AL atau yang selama ini disebut Agni, Catur Udi Handayani mengatakan sejak awal, AL tidak pernah ingin melaporkan kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpanya ketika KKN di Pulau Seram, Maluku, ke pihak kepolisian.
"Agni hanya menginginkan UGM sebagai sebuah institusi pendidikan memberi sanksi etik kepada HS (pelaku-red)," kata Udi saat konferensi pers di Aula Rifka Annisa, Kamis (10/1).
Udi mengatakan Rifka Annisa yang selama ini mendampingi Agni sebenarnya telah sepakat dengan pihak Rektorat UGM untuk tidak melaporkan kasus tersebut di jalur hukum. Namun, kenyataannya, pada 18 November 2018, pihak Polda Maluku menghubungi Rifka Annisa tentang penyelidikan yang tengah berlangsung dan Agni diperiksa oleh pihak Polda Maluku di Yogyakarta selama 12 jam pada 19 November 2018.
"29 November, penyidik Polda DIY meminta Agni untuk melapor secara hukum, tapi Agni menolak untuk melakukannya," imbuhnya.
Namun, pada tanggal 9 Desember 2018, Udi menceritakan bahwa Kepala Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) UGM Arif Nurcahyo melaporkan kejadian tersebut kepada Polda DIY tanpa persetujuan dan konsultasi dengan Agni
Menurut Udi, proses hukum, nantinya hanya memberikan hukuman kepada pelaku, tapi tidak akan memenuhi hak-hak korban. Proses hukum juga tidak memberikan konseling kepada pelaku.
Terkait proses hukum yang sedang berjalan, Udi menyatakan bahwa Agni tidak pernah mendapatkan pendampingan hukum dari UGM, padahal, UGM itu seharusnya memberikan hak Agni untuk mendapatkan informasi dan pendampingan ketika proses hukum yang berjalan.
"Agni telah memenuhi panggilan Polda DIY untuk memberikan keterangan sebagai saksi pada 18 Desember," imbuhnya. seperti dilansir dari bernas.id
Meskipun penyelesaian jalur hukum bukan pilihan Agni sejak awal, Udi menegaskan bahwa Agni, Tim Kuasa Hukum dan Pendamping akan tetap menghadapi proses hukum hingga tuntas.
Ia juga menyatakan bahwa Agni menolak untuk melakukan visum et repertum karena bekas luka fisik yang telah hilang karena waktu kejadian pada 2017 lalu. Agni hanya mengajukan permohonan untuk melakukan visum et repertum psikiatrikum karena dampak psikologis dari kejadian tersebut masih membekas.
Sedangkan, Direktur Rifka Annisa Suharti mengatakan sampai saat ini, pihaknya belum menerima salinan keputusan dari Komite Etik yang telah dibentuk oleh UGM untuk mendalami kasus ini dan memberikan rekomendasi keputusan kepada rektor
"Proses penanganan berlarut dan kurang serius dari UGM berpotensi menimbulkan dampak yang meluas tidak hanya dari sisi korban. Publik juga akan cenderung mengarah ke penghakiman," katanya.
Sementara itu, Kepala Bagian Humas dan Protokol UGM, Iva Aryani mengatakan hasil dari Komite Etik masih dipelajari dan dikaji oleh pimpinan UGM.
"Saat ini, belum bisa memberikan keterangan," katanya.
Berdasarkan pertimbangan terhadap hal-hal di atas, pihak Kuasa Hukum, Pendamping, dan Agni juga menuntut beberapa hal
1. Mendorong Kepolisian untuk menuntaskan proses penyidikan sehingga kasus ini dapat diproses secara adil dan setara sampai di pengadilan sebagai bentuk pemenuhan keadilan terhadap penyintas
2. Menuntut UGM untuk segera memenuhi hak penyinyas atas Informasi mengenai upaya upaya penanganan yang sudah dilakukan, terutama informasi terkait upaya upaya menindaklanjuti rekomendasi Tim Investigasi, kebijakan meluluskan yudisium HS, serta keputusan dan rekomendasi Komite Etik.
3. Menuntut UGM untuk segera memberikan perlindungan maksimal terhadap penyintas karena kelalaian universitas telah menyebabkan penanganan kasus Agni makin berlarut larut dan berpotensi menimbulkan tekanan psikologls lanjutan terhadap penyintas, apalagi Jika hasil rekomendasi Komite Etik ternyata tidak dapat memenuhi rasa keadilan penyintas
4. Menuntut UGM untuk segera memenuhi hak penyintas atas pendampingan psikologi hingga pulih dan dukungan material berupa pembebasan biaya kuliah hingga lulus.
5. Menuntut UGM untuk segera memulihkan nama baik penyintas, salah satunya dengan mengharuskan pelaku menandatangani surat permintaan maaf dan penyesalan di hadapan Rektor dan orang tua yang bersangkutan.
6. Menuntut UGM untuk ikut menghentikan perilaku victim blaming dan tendensi-tendensi untuk mengkriminalisasi penyintas yang dilakukan oleh pihak manapun sebagai konsekuensi dari Iaporan polisi yang dilakukan olah Kepala SKKK UGM tanpa persetujuan (consent) dan konsultasi dengan penyintas.
(rel-marsht)