Ilustrasi |
Dan pastinya, dalam 7 tahun ke depan, masyarakat Indonesia tak dapat lagi menyaksikan piala-piala kejuaraan dunia level utama direbut atlet Indonesia di tanah kelahiran sendiri. Mulai dari Piala Thomas, Piala Uber, Piala Sudirman, Piala Kejuaraan Dunia, Piala Kejuaraan Dunia Junior, Piala Kejuaraan Dunia Juniar Junior atau Suhadinata.
Selama 7 tahun ini, pebulutangkis Indonesia dipastikan hanya akan berlaga di kandang lawan. Sebab, dari keputusan hasil penawaran Federasi Bulutangkis Dunia, tak ada nama kota di Indonesia yang masuk dalam daftar 18 kota penyelenggara 18 kejuaraan dunia level utama ini
Dalam hasil penawaran yang digelar BWF di markas mereka di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis malam 29 November 2018, 18 kejuaraan itu akan digelar di 11 negara dunia, masing-masing 5 negara Benua Asia, yaitu China, Korea Selatan, Thailand, Jepang, India. 5 negara di Benua Eropa, yakni Denmark, Rusia, Prancis, Spanyol, Selandia Baru. Dan Amerika Serikat.
Raibnya nama Indonesia sebagai tuan rumah dalam keputusan BWF tentang 18 kota tuan rumah 18 kejuaraan dunia bulutangkis level utama ini sontak membuat gempar dunia.
Masyarakat dan pegiat bulutangkis di berbagai belahan dunia sangat terkejut dengan absennya Indonesia sebagai tuan rumah. Mereka bertanya-tanya kenapa tak ada nama Indonesia sebagai salah satu tuan rumah.
Diketahui, selama ini Indonesia merupakan negara pencetak juara-juara dunia bulutangkis. Dan karena itulah pebulutangkis dunia selalu berlomba-lomba agar bisa lolos ke kejuaraan dan turnamen yang digelar di Indonesia.
Sebenarnya, Indonesia bisa saja mendapatkan jatah menjadi tuan rumah dari 18 kejuaraan yang bakal digelar BWF di tahun 2019 sampai 2025 itu. Tapi, kesempatan itu tak diambil.
Karena Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia, memutuskan untuk absen dan bidding alias penawaran gelaran kejuaraan dunia yang digelar BWF. Alasannya, aturan komersil yang diterapkan BWF ngaco, dianggap PBSI tidak adil dan cuma merugikan negara penyelenggara saja.
Alasan yang dipaparkan PBSI untuk tak ikut bidding cukup masuk akal, sebab kerugian sebagai tuan rumah sudah dialami Indonesia ketika menggelar Kejuaraan Dunia 2015 di Jakarta.
"Berkaca dari Kejuaraan Dunia 2015, saat itu kami sebagai tuan rumah mengalami kerugian karena aturan ini. Belum lagi makin ke sini makin banyak extra cost yang terus meningkat dan dibebankan kepada negara penyelenggara, termasuk akomodasi, transpor dan berbagai biaya lainnya, kalau bisa ya jangan berat sebelah seperti ini," ujar Kepala Sub Bidang Hubungan Internasional PBSI, Bambang Roedyanto.
Aturan komersil yang dimaksud ialah, tentang pembagian pendapatan sponsor. Dalam tiap kejuaraan itu, BWF memberlakukan aturan pembagian komersial 80-20 persen. Dalam arti, 80 persen sponsor dikendalikan BWF. Negara penyelenggara hanya diberi jatah 20 persen saja.
Contohnya ketidakadilan aturan BWF itu di antaranya, penempatan logo sponsor pada e-board di pinggir lapangan, backdrop media zone, serta materi promosi lainnya.(Viva)